Selasa

KEMALA

 
Image: Kumpulan Fiksi WordPress.com
Bocah perempuan berparas ayu dengan pakaian yang sudah kumal melintasi lorong pasar tradisional. Sesekali ia mempercepat langkah, berlari kecil di antara hiruk pikuk pedagang dan orang-orang yang tengah asyik berbelanja. Sudah hampir seminggu, setiap hari bocah berparas ayu itu melintasi lorong pasar, namun tidak ada satu orang pun yang tahu dari mana ia datang, dan ke mana ia hendak pergi. Jika masih sekolah, mungkin bocah itu baru kelas dua sekolah dasar.
“Bocah gelandangan,” celetuk seorang pedagang.
“Anak itu pasti terlahir karena seks bebas,” timpal pedagang lainnya.
“Orang tuanya kelewat kurang ajar, anak masih kecil sudah disuruh mengemis,” sambung pedagang lain.

Sabtu

Korenah V

Image: dreams.co.uk

(Jin Ifrit)

Mak Ratna histeris ketika mengetahui wajan yang sedang ia gunakan untuk menggoreng ikan, hilang begitu saja di atas tungku.

“Aaaaaaaaaaaaach, auw auw, wajanku!”

Mendengar mak Ratna histeris, pakle Veyz yang tengah merenovasi kandang ayam, berlari secepat bayangan menuju dapur.

“Ada opo toh, mbakyu?” tanya pakle Veyz.
“Anu … wajan hilang.”
“Pasti salah nyimpan.”

“Salah nyimpan opo? Orang tadi wajannya lagi mbak pakai menggoreng ikan. Baru saja mbak tinggal nyuci sendok, pas balik, wajannya sudah hilang, dicuri orang kali ya?”

“Wah … ndak yakin aku ada orang mau mencuri wajan burik bopeng.”

Korenah IV

Image: daridwina.wordpress.com

Timur membentang, kemilau rona langit membasuh bumi, menyentuh embun nan riang menari di ujung daun. Di sela bayang-bayang kabut tipis, kokok ayam jantan bersenandung merdu mencambuk keheningan, sebagai pengingat waktu bagi manusia agar segera keluar dari bingkai mimpi.
Selesai mandi, pakle Veyz duduk manis di depan televisi menikmati berita pagi. Sementara mak Ratna sibuk di dapur menyiapkan sarapan. Nah, Andri ke mana?
“Dik Veyz, nikahan anak bu Sukarti hari ini ya?” tanya mak Ratna pada pakle Veyz.
“Iya, mbakyu … jam berapa kita ke sana?”
“Nanti aja abis sarapan, tunggu Andri bangun dulu.” 
Pagi itu pakle Veyz, mak Ratna, dan Andri akan menghadiri resepsi pernikahan anak bu Sukarti.

Senin

Cari Kerja Apa Cari Duit?


Tiga bulan menapak waktu sebagai pengangguran intelek, Damar mulai dihinggapi rasa jenuh. Untaian detik setiap harinya ia habiskan di dalam kamar kos. Ke mana hendak pergi, teman-teman pun sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Dari pagi hingga petang menjelang, suasana di sekitar kos juga sepi, karena ditinggal penghuninya yang tengah memburu pundi-pundi rupiah.
Menjelang tengah hari, di halaman kos Damar melihat pak Saiman lagi membersihkan sampah menggunakan sapu lidi. Keberadaan pak Saiman menjadi pelipur tersendiri bagi Damar yang fakir teman ngobrol. Damar melangkah keluar mendekati pak Saiman.
“Lagi bersih-bersih pak.”
“Eh, iya nak Damar.”
“Boleh saya bantu.”
“Jangan, nanti baju nak Damar kotor.”
“Enggak apa-apa, pak.”
Walau dicegah, Damar tetap membantu pak Saiman memindahkan sampah ke dalam tahang.
Damar merasa kagum melihat semangat kerja pak Saiman. Di usianya yang sudah tidak muda lagi, pak Saiman seperti tidak kenal lelah. Sebagai orang kepercayaan pemilik kos, pak Saiman yang mengurus segala kebutuhan penghuni rumah kos yang terdiri dari sepuluh kamar itu. Mulai dari membersihkan sampah, mengurus listrik, air, hingga memperbaiki kerusakan bangunan. Satu pekerjaan berat lain yang harus dilakoni pak Saiman adalah menghadapi penghuni kos dengan berbagai latar belakang dan karakter. Keluhan, hardikan, bahkan cacian, namun semua itu tidak menyurutkan semangatnya.

Sabtu

Korenah III

Image clipartlord.com
Motor WIN pelat merah melaju pelan membelah jalan berkerikil di kaki bukit. Dengan sikap berkendara super hati-hati, pak Kades meliuk-liuk menjaga keseimbangan agar tidak tergelincir. Jalan tanah berlubang, kerikil dan batu berbagai ukuran menjadi penghalang yang membuat kendaraan dinas pak Kades tidak bisa melesat cepat. Siang itu pak Kades hendak menemui warga yang akan mendapat bantuan dari pemerintah pusat berupa sapi yang didatangkan langsung dari Inggris.
“Mau ke mana, pak Kades?” sapa pakle Veyz berjongkok memancing ikan gabus di rawa-rawa tepi jalan.
Mendengar suara seseorang menyapa, spontan pak Kades memalingkan wajah, tangan kirinya reflek menekan tuas kopling, membuat motor yang ia kendarai meluncur mulus dan baru berhenti ketika ban depan terjerembat masuk ke lubang jalan. Pak kades pun tersungkur bersama motor dinasnya.
“Oooiiii! Kalau mau nyapa lihat-lihat dong!”
Pakle Veyz menancapkan joran pancing ke tanah, bangkit, mengangkat pinggang celana agar tidak melorot, kemudian bergegas menolong pak Kades.
“Pak Kades enggak apa-apa?”
“Rasanya sih enggak apa-apa.”
Saat memapah pak Kades ke sisi jalan, ekor mata pakle Veyz melihat joran pancingnya bergerak-gerak. Tidak ingin kehilangan momen, pakle Veyz berlari secepat bayangan mendekati joran, agar ikan yang memakan umpannya tidak kabur.

Senin

Obrolan Warung Kopi

Image m.harianindo.com

Saya berdecak kagum ketika menyaksikan berita televisi. Pembaca berita menyampaikan kabar bahwa di Belanda beberapa penjara ditutup karena kekurangan penjahat. Saat tengah berfokus menyimak berita, tiba-tiba laki-laki paruh baya yang duduk di sebelah saya menyeletuk.
“Kamu tahu kenapa penjara di Belanda kekurangan penjahat?”
“Mungkin di sana banyak orang baik dan waras,” balas saya spontan. Sengaja saya tambahkan kata “mungkin” bukan karena saya ragu atas jawaban yang saya ucapkan, tapi itu bagian dari bumbu agar saya tidak terkesan sok benar.
“Jadi di negara kita penyebab penjara tumpah ruah karena banyak orang jahat dan orang tidak waras?”
“Pendapat saya begitu. Mungkin bapak punya pendapat lain?”
“Jawabannya kesejahteraan. Angka kejahatan bisa ditekan kalau masyarakat sejahtera.”
“Lima puluh persen saya sependapat sama bapak.”
“Kenapa cuma lima puluh persen?”
“Menurut saya yang lima puluh persen lagi ada pada akhlak yang baik.”
“Sok tahu kamu!”
“Bapak boleh saja mengatakan saya sok tahu, tapi saya punya alasan logis.”
Lelaki paruh baya itu senyum kering menatap saya seperti mengejek. “Apa alasan logis kamu?” tanyanya.
“Sejahtera, kesejahteraan berarti keadaan sejahtera; keamanan, keselamatan, ketentraman. Yang bapak sampaikan itu tujuan, sementara bapak melupakan proses menuju tujuan tersebut. Kita bisa memperbaiki akhlak (budi pekerti) tanpa harus sejahtera lebih dahulu, tetapi kita tidak akan bisa sejahtera tanpa membenahi akhlak. Jika yang bapak maksud sejahtera secara ekonomi, para pejabat kita kurang apa? Kenyataannya masih banyak oknum pejabat kita yang korupsi.”
Laki-laki paruh baya mangguk-mangguk, kemudian bangkit dari tempat duduk.
“Cara berpikir kamu keren! Saya pamit dulu,” ucapnya sambil menepuk-nepuk bahu saya.

Selasa

Balada 2J

Image google

Bang, tadi sore tetangga kita beli tv baru, kita kapan ganti tv?” tanya Jubaidah pada suaminya sembari mengaduk secangkir kopi.
Julkipli diam seribu basa pura-pura tidak mendengar, ia terus membuka lembaran koran terbitan sepuluh tahun lalu di atas sofa usang rumah kontrakan sepetak yang sudah dua tahun mereka tempati.
“Baaaaang!”
“Apaan sih?”
“Ih, abang gitu ya, tadi aku nanya lo!”
“Tv kita kan masih bagus.”
“Bagus apanya, layar penuh laler begitu dibilang bagus, mana masih hitam putih pula.”
“Buat apa ganti tv? Lagian diganti juga namanya enggak bakal berubah, tetap aja tipi.”
“Tetangga sebelah sudah punya tv baru, Bang! Masa kita masih pakai tv lama. Abang udah enggak sayang ya sama Idah?”
“Abang sayang sama Idah, sumpah mati deh sayaaaaang banget. Sayang sama Idah, enggak sayang sama TV baru!”

Kamis

KORENAH II

Image google
Pukul satu siang, mak Ratna leyeh-leyeh di ruang tengah. Menonton acara gosip artis, ditemani setoples camilan kacang-kacangan, mulai dari kacang tanah, kacang kedelai, sampai kacang panjang.
“Mom, pakle mana?” sapa Andri.
“Mam mom mam mom, mak ya mak aja, le!” balas mak Ratna ketus.
“Biar keren, mak. British british!”
“Keren sih keren, tapi sesuaikan sama tampang dong! Panggilan Maman itu punya orang kaya.”
“Mom, mak, bukan Maman. Waduh! Pakle mana mak?”
“Katanya tadi ke warung depan. Kamu jadi beli motor baru?”
“Jadi, kan sekarang mau berangkat ke dealer sama pakle.”
“Bagus. Ingat! Kamu punya utang sama mak tiga ratus ribu, katanya mau diganti hari ini.”
“O iya, aku lupa, nanti siang ya, mak. Aku mau menyusul pakle Veyz dulu ke warung depan.”
Sejurus kemudian Andri bangkit dan bergegas keluar rumah.
Di tengah jalan menuju warung, Andri berjumpa pakle Veyz.
“Mau ke mana kamu, le?” tanya pakle Veyz.
“Mau nyari pakle. Kita jadi ke dealer motor kan?”
“Jadi dong.”
“O iya, Pakle. Anu …”
“Opo toh, le? Ra jelas kamu itu.”
 “Anu, pakle.”
“Opoooo?”
“Katanya pakle mau minjamin aku duit tiga ratus ribu, mana?”
“O iya, pakle lupa. Nanti siang ya, le.”

Rabu

KORENAH

Image google
Semburat fajar menyingsing, tersenyum genit menyapa embun. Kicauan burung-burung kecil di ujung ranting, bak motivator membakar semangat pagi.
“Pagi yang cerah,” gumam pakle Veyz, sembari membuka jendela kamarnya yang pengap. Sejuk udara pagi, bertempur melawan hawa sisa-sisa ngorock pakle Veyz semalam. Di tepi jendela, pakle Veyz membentangkan tangannya, menggeliat laksana aktris di film drama romantis, yang tampak sekilas di kaca jendela apartemen mewah.
Ketika tengah asyik menikmati sejuknya udara pagi dari balik jendela sepi, tiba-tiba pakle Veyz merasakan sesuatu yang aneh di dalam perutnya. Tanpa pikir panjang, segera pakle Veyz melangkah keluar kamar.
“Bruduuuk!”
Karena terburu-buru pengin cepat mendarat di kakus belakang rumah, di depan pintu kamar, pakle Veyz menabrak Andri yang melintas dari dapur menuju ruang tengah. Andri tengah membawa segelas susu coklat bekal sarapan.
Susu coklat yang berada di tangan Andri, tumpah tepat di wajah pakle Veyz. Paman dan keponakan itupun jatuh terhempas ke lantai.

Senin

Diferensiasi

Image Google

Angin yang semula berembus tenang, bergerak lebih cepat dan semakin cepat. Atap bangunan rumah warga di desa Cemewei beterbangan. Kepanikan di sana sini, semua orang berhamburan keluar rumah menyelamatkan diri.
“Ada apa ini?” teriak seorang warga, berlari terbirit-birit membenahi sarung kusam yang dikenakannya, sambil menggenggam tablet canggih.
“Kiamat, kiamat, kiamat!” celetuk warga lainnya.
“Jangan sembarangan kamu bicara. Aku sama sekali belum mendengar suara sangkakala.”
“Mungkin saja malaikat Israfil sudah meniup sangkakala, karena kita terlalu sibuk facebookan, twitteran, bbmman, dan youtube-ban, kita tidak mendengar suara itu.”
“Sesat kamuuu! Kamu benar-benar sesat!”
“Aaaaaaaaach! Selamatkan jiwa, selamatkan diriiiiiiiiiiiiii!”
“Terlambaaaaaaaat! Kita tak punya waktu lagiiiii.”      
Hembusan angin semakin kuat menghempas pohon dan rumah warga.


***

Keesokan harinya.
Seorang pembaca berita televisi dengan suara bergetar menyampaikan berita duka tentang bencana badai besar yang melanda desa Cemewei.
“Kita beralih ke berita lainnya. Puluhan rumah warga di desa Cemewei rusak parah, pasca dilanda badai besar kemarin petang. Tidak ada korban jiwa dalam bencana badai besar kali ini, namun kerugian warga diperkirakan mencapai miliaran rupiah. Informasi lain yang kami dapatkan dari lokasi peristiwa, ada satu rumah megah milik warga di desa Cemewei yang tetap kukuh berdiri, tanpa kerusakan berarti. Keterangan dari warga sekitar, bangunan megah itu milik warga pendatang bernama Sujono. Rumah megah yang dibangun sekitar setahun yang lalu itu, baru ditempati keluarga Sujono seminggu sebelum bencana terjadi. Saat ini berkembang berbagai spekulasi tentang kehadiran keluarga Sujono di desa Cemewei. Demikian yang dapat kami sampaikan, sampai jumpa!”
Hiruk pikuk warga, masing-masing sibuk berkemas, sebagian lain sibuk mengais harta benda yang masih layak pakai di sisa puing bangunan.