Kamis

KORENAH II

Image google
Pukul satu siang, mak Ratna leyeh-leyeh di ruang tengah. Menonton acara gosip artis, ditemani setoples camilan kacang-kacangan, mulai dari kacang tanah, kacang kedelai, sampai kacang panjang.
“Mom, pakle mana?” sapa Andri.
“Mam mom mam mom, mak ya mak aja, le!” balas mak Ratna ketus.
“Biar keren, mak. British british!”
“Keren sih keren, tapi sesuaikan sama tampang dong! Panggilan Maman itu punya orang kaya.”
“Mom, mak, bukan Maman. Waduh! Pakle mana mak?”
“Katanya tadi ke warung depan. Kamu jadi beli motor baru?”
“Jadi, kan sekarang mau berangkat ke dealer sama pakle.”
“Bagus. Ingat! Kamu punya utang sama mak tiga ratus ribu, katanya mau diganti hari ini.”
“O iya, aku lupa, nanti siang ya, mak. Aku mau menyusul pakle Veyz dulu ke warung depan.”
Sejurus kemudian Andri bangkit dan bergegas keluar rumah.
Di tengah jalan menuju warung, Andri berjumpa pakle Veyz.
“Mau ke mana kamu, le?” tanya pakle Veyz.
“Mau nyari pakle. Kita jadi ke dealer motor kan?”
“Jadi dong.”
“O iya, Pakle. Anu …”
“Opo toh, le? Ra jelas kamu itu.”
 “Anu, pakle.”
“Opoooo?”
“Katanya pakle mau minjamin aku duit tiga ratus ribu, mana?”
“O iya, pakle lupa. Nanti siang ya, le.”



Tiba di rumah, Andri langsung masuk kamar untuk ganti baju. Sementara pakle Veyz bergegas mendekati mak Ratna yang masih anteng menonton acara gosip.
“Mbakyu, katanya mbakyu mau minjamin aku uang tiga ratus ribu, mana?” ucap pakle Veyz.
“Sebentar,” balas mak Ratna yang kemudian bangkit menuju kamarnya. Hanya sebentar, mak Ratna kembali, sambil menyodorkan uang pecahan seratus ribu sebanyak tiga lembar kepada pakle Veyz. 
“Terima kasih mbakyu.”
 Setelah mendapat pinjaman uang dari mak Ratna, pakle Veyz melangkah ke kamar Andri.
“Nih le, janji pakle tadi,” ucap pakle Veyz sambil menyodorkan lembaran uang senilai tiga ratus ribu.
“Terima kasih, pakle.”
“Hayuk berangkat!”
“Yuk!
Kala pakle Veyz melangkah keluar, Andri mendekat kepada mak Ratna sambil berkata.
“Mak, aku berangkat ke dealer dulu ya. Ini uang yang aku janjiin tadi. Tiga ratus ribu. Udah lunas utang aku ya.”
“Nah, begitu dong, tepat janji. Emang kamu mau beli motor apa, le?”
“Yang merek Mia, mak.”
“Ooo, mak nitip boleh enggak?”
“Nitip opo, mak?”
“Biar nanti mak bisa pinjam buat ke pasar, kamu beli motornya … mhmhm yang lampu seinnya bisa menyala sendiri pas mau belok. Soalnya banyak yang protes kalau mak bawa motor. Kadang sein sama arah belok enggak punya pendirian. Mak mau belok ke kanan, eh sainnya malah nyala ke kiri.”
“Hahahahhaa, mana ada motor yang lampu sainnya bisa menyala sendiri? Mak ada-ada aja.”
“Ada, le. Coba aja nanti kamu tanyain sama yang jualnya.”
“Iya deh, aku berangkat yo, mak!”
“Yo wes, hati-hati, le, jangan nyopet!”
Wahahahahahahaha
***
Beberapa hari kemudian.
Andri akhirnya memiliki motor baru yang masih terbungkus plastik. Sepanjang hari motor itu ia peluk. Dipeluk doang tapi, enggak pernah dipakai, wahahahaha. Dipeluk dilap lagi, dipeluk lagi, dilap lagi, selama tiga hari begitu aja terus.
Di hari pertama Andri mengendarai motor barunya, ia berputar-putar keliling desa dengan sikap berkendara super hati-hati. Kalau ada tanggul, Andri berhenti dulu, matiin mesin, kemudian mendorong motornya pelan-pelan.
Pada suatu pagi nan cerah, mak Ratna meminjam motor baru Andri untuk belanja ke pasar ikan.
“Le, mak pinjam motor ya.”
“Mau ke mana, mak?”
“Ke pasar ikan.”
Kemudian Andri memberikan kunci motor kepada mak Ratna, sambil berkata.
“Hati-hati ya mak makainya. Nanti kalau ketemu tanggul usahain turun dulu.”
“Hahahaha, tenang, le.”
Ngeeeeeeeeeng!
***

Dua jam kemudian.
Kala mak Ratna tengah asyik membersihkan ikan yang baru saja ia beli, Andri datang menanyakan motor.
“Mak, motor mana?”
“Ada di teras”
“Di teras enggak ada apa-apa, mak.”
“Moso? Tadi motornya mak simpan di teras kok.”
“Enggak ada, mak!”
“Waduh!” Andri dan mak Ratna bergegas menuju teras rumah.
“Tadi mak simpan di sini, le,” ucap mak Ratna bersemangat. “Dicuri orang, motor dicuri orang.” Mak Ratna tampak mulai panik. Sementara Andri terpaku tanpa kata. Terlihat jelas rona sedih terlukis dari wajah Andri.
Kemudian Andri berlari menuju pojok dapur, lalu menangis sejadi-jadinya.

***

Ditemani pakle Veyz, mak Ratna berangkat menuju kantor Polisi terdekat, untuk membuat laporan kehilangan.
“Selamat siang, Ibu. Ada yang bisa kami bantu?” tanya petugas Polisi.
“Pak, tulung pak, tulung! Motor anak saya hilang,” balas mak Ratna sesenggukan.
Kemudian petugas tersebut menuntun mak Ratna menuju ruangan SPKT.
Di dalam ruangan ada tiga meja. Pada masing-masing meja terdapat perangkat komputer.
“Ndan, Ibu ini mau membuat laporan kehilangan.”
“Silakan duduk, Ibu.”
Setelah mak Ratna duduk, petugas pun mulai mengajukan pertanyaan.
“Maaf, dengan Ibu siapa?” tanya petugas.
“Nama saya, Pak?”
“Iya, nama Ibu.”
“Nama saya Ratna Indah Pertiwi Kesumaning Praja Pitaloka Purwaningsih.”
Petugas pun sempat kesulitan mencatat nama mak Ratna yang panjangnya melebihi gerbong kereta cepat kontroversi jurusan Bandung Jakarta PP.
 “Bisa Ibu sebutkan warna motor anak Ibu yang hilang?” lanjut petugas.
“Putih, pak,” balas mak Ratna sambil mewek.
Tiba-tiba petugas polisi yang melayani aduan mak Ratna terdiam.
“Kenapa bapak diam, bapak ikutan sedih juga ya?” tanya mak Ratna pede.
“Mohon maaf, Ibu tunggu sebentar ya, komputernya ngehang. Kemudian si petugas bangkit dari tempat duduk dan melangkah menuju ruangan belakang. Sementara mak Ratna masih saja menangis sekuat tenaga.
Petugas lain yang berada di ruangan SPKT merasa kasihan dan berusaha menenangkan, untuk sekadar menghibur mak Ratna.
“Yang sabar, Ibu. Motor anak ibu yang hilang mereknya apa?”
“MIA, pak.”
“Kayak nama cewek,” gumam petugas. “Merek mesinnya apa, bu?”
“YAMAHMUD, pak” balas mak Ratna.
Mendadak petugas terkekeh-kekeh, sebelum kembali bertanya.
“Produk mana itu, bu?”
“Timur tengah, Pak.”
“Ooo, lucu juga namanya. Kalau motornya produk Banjar, kira-kira apa nama mesinnya ya?”
“YAMARTAPURA, pak” sambung mak Ratna sambil terus menangis.
“Kalau produk Jawa Timur?” tanya petugas lain.
“YAMAGETAN.”
“Kalau produk Jakarta?”
“YAMATRAMAN.”
Petugas kembali terpingkal-pingkal mendengar jawaban mak Ratna.
“Kalau produk Ambon?”
“YAMALUKU”
“Kalau produk Sulawesi?”
“YAMAKASSAR.”
“Kalau produk Bandung?”
“YAMAJALENGKA”
“Kalau produk Papua?”
“YAMANOKWARI.”
“Wahahahahhahaa.” Semua orang yang berada di ruangan SPKT tertawa mendengar jawaban mak Ratna.
Tak lama berselang, petugas yang sebelumnya berpamitan kembali memasuki ruangan.
“Sekarang ibu ceritakan, kapan dan bagaimana kronologis hilangnya motor anak Ibu,” ucap si petugas sesaat setelah duduk.
“Tadinya motor itu saya pakai buat belanja ke pasar ikan dekat rumah.”
“Setelah itu Ibu ke mana lagi?”
Mak Ratna terdiam, mengingat-ingat.
“Ketika pulang dari pasar ikan, di tengah jalan, ban motornya kempes. Kemudian saya bawa ke tukang tambal ban.”
“Setelah itu Ibu ke mana lagi?”
“Waktu tukang tambal menambal ban motor, saya pulang. Eh, maaf Pak, saya ingat … Berarti motor anak saya enggak jadi hilang, tapi ketinggalan di tempat tukang tambal ban,” ucap mak Ratna sambil bangkit dari tempat duduk, kemudian berlari keluar ruangan SPKT.
Petugas yang menerima aduan mak Ratna menghela napas panjang, menggaruk-garuk kepala yang sebenarnya enggak gatal, sembari berkata. “YA AMPUN.”
“Itu motor produk mana, Ndan?” tanya petugas lain yang duduk di meja sebelah.
Belum sempat petugas itu menjawab, pengarang cerita ini berteriak dengan suara menggelegar.
(PRODUK KELUARGA KOPLAK! Wahahahahahaa.)


Bandung, 24 Februari 2016

TM Hendry, s 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar