Selasa

Ayah

Image Google
Laki-laki paruh baya dengan kemeja lusuh duduk mengamati sosok mungil yang tengah fokus dengan mangkuk baso di hadapannya. Bocah perempuan usia lima tahun itu tampak lahap. Laki-laki paruh baya melepas topi kumal warna krem, kemudian meletakkannya di atas  meja, ia tersenyum tulus melihat keceriaan anak perempuannya yang tengah menikmati semangkuk baso. Lembar nasib terlukis pada gurat wajah menua, wajah yang sudah kenyang merancah hitam putih kehidupan.
“Ayah mau?” ucap bocah perempuan mengangkat sendok berisi baso kecil.
“Ayah sudah kenyang.”

Kena Teepu


Apes, itulah yang saya alami ketika naik Angkot kemarin sore. Dengan semena-mena tanpa perasaan, seorang perempuan paruh baya menuduh saya mengambil dompet miliknya. Dongkol, emosi, campur aduk jadi satu. Dan peristiwa kemarin itu benar-benar  akan menjadi pengalaman buruk seumur hidup saya.
Angkot sesak penumpang, duduk desak-desakan, sore menjelang magrib bertepatan pas jam pulang kerja, jam pulang sekolah juga. Perempuan paruh baya itu turun duluan dari angkot, ketika hendak membayar ongkos, ia tampak panik mengubek-ubek isi tasnya. Jreeng! Sorot matanya tertuju ke saya, dengan jari telunjuk tangan kirinya dia menunjuk tajam dan menuduh saya telah mengambil dompetnya.  Sumpah deh, dongkol kuadrat, asem benar tu perempuan.

Kamis

KELANGAN


Sedari pagi Puro uring-uringan, gairah hidupnya tampak memudar. Padahal sehari yang lalu ia masih begitu bersemangat, terlebih saat main media sosial menggunakan telepon pintar baru miliknya. Update status, komen sana, like sini, kadang tertawa sendiri menatap layar mungil yang ada dalam genggamannya. Namun hari  ini semua berbeda, Tagur pun merasa heran melihat perubahan sikap Puro.
“Kamu kenapa sih, dari tadi aku lihat murung mulu?” tanya Tagur.
“Aku lagi sedih, tolong jangan ganggu, biarkan aku sendiri.”
“Yahaaa, drama! Makane jangan banyak nonton sinetron!”