Selasa

Balada 2J

Image google

Bang, tadi sore tetangga kita beli tv baru, kita kapan ganti tv?” tanya Jubaidah pada suaminya sembari mengaduk secangkir kopi.
Julkipli diam seribu basa pura-pura tidak mendengar, ia terus membuka lembaran koran terbitan sepuluh tahun lalu di atas sofa usang rumah kontrakan sepetak yang sudah dua tahun mereka tempati.
“Baaaaang!”
“Apaan sih?”
“Ih, abang gitu ya, tadi aku nanya lo!”
“Tv kita kan masih bagus.”
“Bagus apanya, layar penuh laler begitu dibilang bagus, mana masih hitam putih pula.”
“Buat apa ganti tv? Lagian diganti juga namanya enggak bakal berubah, tetap aja tipi.”
“Tetangga sebelah sudah punya tv baru, Bang! Masa kita masih pakai tv lama. Abang udah enggak sayang ya sama Idah?”
“Abang sayang sama Idah, sumpah mati deh sayaaaaang banget. Sayang sama Idah, enggak sayang sama TV baru!”



“Kalau benaran sayang, besok beliin yayang Idah tv baru dong,” rayu Jubaidah manja.
Julkipli tercenung, dia sama sekali tidak menyalahkan istrinya yang celamitan, tapi dia lebih memilih menyalahkan tetangga, “beli tv baru kok pamer-pamer.” Dongkol, Julkipli bangkit kemudian melangkah menuju lemari kain doyong yang terpajang di pojok ruangan. Dari dalam lemari tanpa kaca itu Julkipli meraih celengan ayam. “Kita buka celengan,” ucap Julkipli mantap yang disambut senyum semringah Jubaidah. Julkipli paling tidak bisa menolak permintaan istrinya, apalagi dalam permintaan tersebut melibatkan kata sayang. Satu hal yang paling ia hindari, jangan sampai terucap ultimatum perceraian. “Bukankah Tuhan membenci perceraian?” Sebuah kalimat yang menjadi motivasi bagi Julkipli untuk memenuhi semua permintaan istrinya, agar tak terucap kata cerai. Keliru? Jelas sangat keliru, tapi cinta yang tumbuh di relung hati Julkipli membuat dia mati akal menghadapi tabiat istrinya yang celamitan bercampur iri.
Tanpa komando Julkiplli memecahkan celengan ayam. Seabrek receh pecahan dua ribu, seribu, dan lima ratus rupiah bertebaran di lantai. Pasangan eksentrik itu mengumpulkan satu per satu uang dari tabungan yang sudah setahun lebih Julkipli isi dengan teratur setiap hari, hasil dari mengojek. Tadinya Julkipli memproyeksikan tabungan tersebut untuk mengontrak rumah yang lebih besar dari kontrakannya sekarang, namun apa daya, rencana tinggal rencana, rengek sang istri minta tv baru jauh lebih dasyat dibanding rencana tersebut. 
“Tiga ratus ribu,” ucap Jubaidah setelah menghitung isi celengan.
“Mana cukup buat beli tv baru,” gumam Julkipli. “Kita beli tv bekas aja ya?”
“Enggak mau!”
Dengan terpaksa, demi dapat tv baru agar sang istri tercinta tak bermuram durja, akhirnya Julkipli meminjam uang dari rekan seprofesinya bernama Solihin. Dan tv baru pun nangkring di kontrakan sepetak, Jubaidah girang bukan kepalang.

***

Tiga minggu kemudian.
Kala menyibak gorden, Jubaidah melihat dua orang kurir menggotong lemari baru, dan masuk ke dalam rumah yang bersebelahan dengan rumah kontrakannya. Radar celamitan terkontaminasi iri pun aktif berbunyi dilengkapi getar. Jubaidah benar-benar tidak sabar menunggu suaminya pulang, dilihatnya jam tua yang tersemat pada dinding tembok kusam, pukul empat sore, jika tak ada aral gendala, satu jam lagi suaminya pulang. Jubaidah merintang waktu dengan menonton televisi.
Tepat pukul lima, terdengar suara motor berhenti di depan kontrakan, segera Jubaidah berlari membukakan pintu.
“Abang!” sapa Jubaidah manja. “Abang mau Idah buatkan kopi hitam apa kopi susu?”
Julkipli menyunggingkan senyum simpul. “Air putih aja,” balasnya singkat.
Usai menyuguhkan air putih, Jubaidah senyam-senyum menatap ke arah suaminya. Tentu saja Julkipli sudah terbiasa membaca tanda-tanda itu. “Pasti ada maunya,” batin Julkipli.
“Bang, tahu enggak?”
“Enggak tahu dan enggak mau tahu,” balas Julkipli cengengesan.
“Ih, abang jahat ih!” Jubaidah merengut.
“Apa, cayang?”
“Itu bang … tadi tetangga kita beli lemari baru.”
Tidak ada yang keliru dari isyarat yang dirasa Julkipli, dugaannya seratus persen benar. Sore itu Jubaidah minta dibelikan lemari baru. Tabungan sudah tidak ada, uang di dompet hanya cukup buat beli ikan asin untuk menu makan esok hari. Julkipli berpikir keras, pinjam duit lagi sama Solihin rasanya tidak enak hati, sebab hutang tiga minggu yang lalu buat tambah beli tv belum sepenuhnya lunas. Akhirnya Julkipli menggadaikan motor agar sang istri tercinta tak bermuram durja.
Uang hasil gadai motor dipergunakan Julkipli untuk membeli lemari baru, sisanya ia belikan terpal setinggi dua meter. Terpal tersebut digunakan Julkipli membatas halaman rumahnya dengan rumah tetangga, demi satu tujuan, agar sang istri tidak melihat jika nanti tetangga membeli barang baru.
Tanpa motor Julkipli lontang-lantung menjadi ojekers tembak. Jika ada teman satu profesinya yang sakit, dia yang menggantikan. Sebagai sahabat terbaik, Solihin merasa iba melihat Julkipli, atas dasar itu dengan senang hati Solihin meminjamkan uang kepada Julkipli untuk menebus motornya yang tergadai.

***

Satu bulan kemudian.
Siang benderang bermandikan cahaya mentari, langit cerah tanpa awan. Sambil bernyanyi kecil Jubaidah membersihkan lemari dan tv menggunakan kemoceng. Tiba-tiba dari luar terdengar suara ketukan pintu.
“Permisi!”
Tergopoh Jubaidah menghampiri pintu masuk. “Cari siapa ya?” tanya Jubaidah pada pria muda yang berdiri di hadapannya.
“Maaf, saya mau nanya alamat. Gang soang nomor lima di sini bukan, Bu?” balas Pria tersebut.
“Ooo, emang mas mau mencari siapa?”
“Saya mau mengantarkan kulkas, nama pemesannya bu Korimah.”
“Rumah sebelah mas!” tutup Jubaidah dengan mimik wajah kesal.
Sejurus kemudian pria tersebut berlalu.
Tidak lama berselang Julkipli datang menggunakan sepeda motor yang biasa ia pakai buat mengojek. Seperti siang-siang sebelumnya Julkipli pulang untuk menikmati menu masakan sang istri.
“Hai yayang!” sapa Julkipli mesra.
“Hai,” balas Jubaidah singkat padat dan ketus.
“Kamu sakit?”
“Enggak!” suara balasan terdengar semakin ketus.
“Terus, kenapa cemberut begitu, nanti hilang lo cantiknya.”
“Lagi malas dirayu!”
Kemudian Julkipli menoleh ke belakang, tampak empat orang pria menggotong kulkas dari atas mobil bak terbuka. Spontan pria berambut keriting itu tertunduk lesu. “Pasti itu pangkal balanya,” pikir Julkipli. Dan terpal pun kehilangan fungsinya.
“Bang, kita mesti punya kulkas, biar kalau ada sisa sayur dan ikan mentah enggak terbuang mubazir.”
Seeeer! Darah yang mengalir di tubuh Julkipli terasa dingin, ia kehabisan upaya untuk memenuhi segala permintaan istrinya. TV, lemari, kipas angin, dan barang-barang lainnya, yang terbaru kulkas.
“Aku sudah enggak punya uang,” balas Julkipli ringkih.
“Katanya sayang, katanya cinta …”
“Tanpa kulkas kita masih bisa hidup kan?”
“Aku enggak mau tahu, kalau abang enggak membelikan aku kulkas, lebih baik aku pergi dari rumah ini, sumpek!”
“Jangan gitu dong. Abang janji, nanti kalau abang sudah ada uang abang belikan ya.”
Setelah itu Jubaidah berlari masuk rumah dan mengeluarkan semua pakaiannya dari lemari.
“Idah, tolonglah abang sekali ini saja.” Julkipli berusaha membujuk istrinya, tapi Jubaidah cuek bebek sambil terus mengemas pakaian ke dalam tas.
“Baiklah, besok kita beli kulkas.”
Jubaidah mendadak berseri-seri usai mendengar kalimat itu.
“Benaran, besok kita beli kulkas?”
“Iya.”
***

“Mana motor kamu?” tanya Solihin kepada Julkipli yang datang ke pangkalan berjalan kaki dengan muka ditekuk mirip unta lapar.
“Aku jual,” balas Julkipli singkat.
“Gila! Emang kamu udah punya pekerjaan lain?”
“Belum.”
“Terus kenapa dijual?”
“Istri aku minta beli kulkas, aku udah enggak punya uang, ya terpaksa motor itu aku jual.”
“Tambah gila!”
“Mungkin aku memang sudah gila.”
“Pli, enggak seharusnya kamu mengikuti semua keinginan istri kamu, apalagi sampai menjual motor segala. Kamu enggak mikir apa? Tanpa motor itu kamu jadi menganggur.”
“Ini cara aku mempertahankan rumah tangga.”
“Kelewat gila!” Nada bicara Solihin meninggi, ia kesal melihat keputusan sahabatnya. “Sebagai kepala keluarga kamu tu harus bisa menuntun istri, bukan malah mengikuti semua kehendaknya.”
“Tapi aku sayang sama dia. Jika aku tidak membelikannya kulkas baru, ia minta cerai.”
“Pelaksanaan kata sayang itu bukan dengan memberikan semua permintaan orang yang disayang, tapi dengan menuntunnya menjadi lebih baik. Tidak masalah memenuhi permintaan, tapi sewajarnya. Cinta boleh, sayang boleh, namun logika harus tetap jalan, kawan! Menurut aku, kebersamaan dalam bentuk apa pun harus membawa pengaruh positif bagi pelakunya. Jika kebersamaan hanya mendatangkan hal negatif, bila rentang waktu tidak mampu mengubah yang buruk menjadi baik dan yang baik menjadi lebih baik, sudah sepatutnya kebersamaan tersebut diakhiri.”
Julkipli termangu mendengar kata-kata Solihin. “Baiklah, setelah ini aku akan meminta istriku mengubah tabiat buruknya. Jika tidak berubah juga, perceraian akan menjadi pilihan terakhir.”

***

“Aku ini istri kamu, Bang. Terus aku mau minta sama siapa lagi? Abang enggak malu, kalau aku minta sama orang lain? Abang mau kalau aku minta beliin barang-barang sama mantan aku?”
“Kalau kamu tidak bisa mengubah tabiat jelek kamu itu, selamanya kita akan begini terus!”
“Apa yang harus aku ubah, Bang? Apa? Wajar dong aku minta sama abang! Abang kan suami aku! Kalau abang sudah tidak sanggup lagi hidup bersama aku, sudah tidak cinta lagi, sudah tidak sayang lagi, ceraikan saja aku! Ceraikan saja!”
Malam itu terjadi pertengkaran hebat, suatu hal yang tidak biasa terjadi, sebab selama ini Julkipli selalu mengalah dan memenuhi segala permintaan istrinya.
“Ya sudah, kita CERAI!” tutup Julkipli sambil membanting pintu dan berlalu di kegelapan malam.

***

Siang itu Julkipli termangu di pangkalan ojek. Sambil merebahkan diri di atas balai anginan yang terbuat dari bambu, matanya menerawang jauh ke angkasa berpayung awan mendung, seperti halnya kejadian demi kejadian yang terpahat pada jalan hidupnya,  awan hitam pekat menggantung menyesakkan ruang hati. Istri pergi dari rumah, motor pun sudah dijual.
“Larut dalam masalah bukan pilihan, kamu harus segera move on.” Suara Solihin membuyarkan lamunan Julkipli.
“Move on itu apaan?” tanya Julkipli polos.
“Aku juga enggak tahu sih artinya, tapi aku sering mendengar kata itu.”
“Nah loh.”
“Maksud aku, untuk bisa bangkit lagi kamu harus mengenyampingkan dulu semua masalah kamu, utamanya yang berkaitan sama Jubaidah. Masih banyak kok perempuan yang bisa menerima kamu apa adanya.”
“Tapi…”
“Tapi apa? Masih sayang, masih cinta? Katanya kamu sudah cerai.”
“Mungkin enggak ya Jubaidah bisa berubah?”
“Tu kan, kamu masih mengharapkan Jubaidah kembali? Kemungkinan seseorang berubah itu ada, namun kemungkinan sebaliknya juga sama mungkinnya. Saran aku sebaiknya kamu memulai lembaran baru dan jadikan semua cerita di masa lalumu itu sebagai pelajaran, aku akan bantu kamu bangkit lagi. Besok aku mau mengkredit motor baru, daripada kamu lontang-lantung enggak jelas tanpa kerjaan tetap, kamu pakai motor lama aku, aku ngojek pakai motor baru. Enggak usah setor, isi bensin aja, nanti kalau kamu sudah punya cukup simpanan buat uang mungka motor, kamu balikin lagi motor itu ke aku.”
Kembali Solihin menjadi penyelemat bagi Julkipli. Sahabat terbaik hadir saat dibutuhkan, bukan ketika ia lagi butuh.
“Aku bersyukur punya sahabat seperti kamu, terima kasih yang terhormat tuan Solihin,” ucap Julkipli berkaca-kaca.
Dari sana Julkipli bertekad bangkit dan siap mengikuti saran Solihin untuk mengenyampingkan semua cerita kelam hidupnya, sambil terus berjuang menata masa yang akan datang menjadi lebih baik.

***

Julkipli berlari sekuat tenaga ketika melihat sosok tak asing sedang menaiki angkutan pedesaan. Sosok perempuan yang pernah menyemai mawar terindah di hati Julkipli, walau pada akhirnya dari tangkai mawar nan indah itu tumbuh duri-duri tajam menoreh luka, namun keindahan tetaplah keindahan. Hingga benteng pertahanan batin Julkipli pun rubuh dan hancur berkeping-keping. Upaya move on yang hampir sukses berada di gerbang kegagalan. Perjumpaan dengan Jubaidah bagai meriam sundut merubuhkan ketangguhan prinsip dan segala daya.
“Jubaidaaaaaaaaaaaah!”
“Julkipliiiiiiiiiiiiiii!”
Jubaidah bergegas turun dari angkutan pedesaan, setengah berlari menghampiri sosok pangeran yang pernah mewarnai hari-harinya. Jauh di relung hati terdalam ia juga sangat mencintai Julkipli, bahkan melebihi rasa cinta Julkipli kepadanya. Betapa Jubaidah merasa rapuh menjalani hidup tanpa kehadiran Julkipli selama beberapa bulan perpisahan mereka.
“Kenapa dirimu begitu tega meninggalkan kenangan, harapan, dan semua milik abang? Ketahuilah, yayang Idah begitu berarti bagi abang.”
“Maafkan Idah … kalau abang Ipli masih mau menerima cinta Idah, kita rujuk, Idah janji enggak bakalan celamitan dan iri lagi sama tetangga.”
“Sungguh dirimu telah berubah sayangku, oh kamu semakin cantik bila begitu.”
“Ih, abang Ipli bisa aja ngerayunya. Kita tinggal di rumah kontrakan yang dulu lagi?”
“Iya! Sekarang aman, tetangga lama kita sudah pindah.”
“Haaaa, mereka pindah kontrakan?”
“Bukan, mereka sudah beli rumah baru.”
“Haaa, KITA KAPAN BELI RUMAH?”
Sejurus kemudian Julkipli kejang-kejang dan pingsan selama enam bulan.


Bandung, 03 Mei 2016


TM Hendry, s

Tidak ada komentar:

Posting Komentar