Senin

Cari Kerja Apa Cari Duit?


Tiga bulan menapak waktu sebagai pengangguran intelek, Damar mulai dihinggapi rasa jenuh. Untaian detik setiap harinya ia habiskan di dalam kamar kos. Ke mana hendak pergi, teman-teman pun sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Dari pagi hingga petang menjelang, suasana di sekitar kos juga sepi, karena ditinggal penghuninya yang tengah memburu pundi-pundi rupiah.
Menjelang tengah hari, di halaman kos Damar melihat pak Saiman lagi membersihkan sampah menggunakan sapu lidi. Keberadaan pak Saiman menjadi pelipur tersendiri bagi Damar yang fakir teman ngobrol. Damar melangkah keluar mendekati pak Saiman.
“Lagi bersih-bersih pak.”
“Eh, iya nak Damar.”
“Boleh saya bantu.”
“Jangan, nanti baju nak Damar kotor.”
“Enggak apa-apa, pak.”
Walau dicegah, Damar tetap membantu pak Saiman memindahkan sampah ke dalam tahang.
Damar merasa kagum melihat semangat kerja pak Saiman. Di usianya yang sudah tidak muda lagi, pak Saiman seperti tidak kenal lelah. Sebagai orang kepercayaan pemilik kos, pak Saiman yang mengurus segala kebutuhan penghuni rumah kos yang terdiri dari sepuluh kamar itu. Mulai dari membersihkan sampah, mengurus listrik, air, hingga memperbaiki kerusakan bangunan. Satu pekerjaan berat lain yang harus dilakoni pak Saiman adalah menghadapi penghuni kos dengan berbagai latar belakang dan karakter. Keluhan, hardikan, bahkan cacian, namun semua itu tidak menyurutkan semangatnya.

Sabtu

Korenah III

Image clipartlord.com
Motor WIN pelat merah melaju pelan membelah jalan berkerikil di kaki bukit. Dengan sikap berkendara super hati-hati, pak Kades meliuk-liuk menjaga keseimbangan agar tidak tergelincir. Jalan tanah berlubang, kerikil dan batu berbagai ukuran menjadi penghalang yang membuat kendaraan dinas pak Kades tidak bisa melesat cepat. Siang itu pak Kades hendak menemui warga yang akan mendapat bantuan dari pemerintah pusat berupa sapi yang didatangkan langsung dari Inggris.
“Mau ke mana, pak Kades?” sapa pakle Veyz berjongkok memancing ikan gabus di rawa-rawa tepi jalan.
Mendengar suara seseorang menyapa, spontan pak Kades memalingkan wajah, tangan kirinya reflek menekan tuas kopling, membuat motor yang ia kendarai meluncur mulus dan baru berhenti ketika ban depan terjerembat masuk ke lubang jalan. Pak kades pun tersungkur bersama motor dinasnya.
“Oooiiii! Kalau mau nyapa lihat-lihat dong!”
Pakle Veyz menancapkan joran pancing ke tanah, bangkit, mengangkat pinggang celana agar tidak melorot, kemudian bergegas menolong pak Kades.
“Pak Kades enggak apa-apa?”
“Rasanya sih enggak apa-apa.”
Saat memapah pak Kades ke sisi jalan, ekor mata pakle Veyz melihat joran pancingnya bergerak-gerak. Tidak ingin kehilangan momen, pakle Veyz berlari secepat bayangan mendekati joran, agar ikan yang memakan umpannya tidak kabur.

Senin

Obrolan Warung Kopi

Image m.harianindo.com

Saya berdecak kagum ketika menyaksikan berita televisi. Pembaca berita menyampaikan kabar bahwa di Belanda beberapa penjara ditutup karena kekurangan penjahat. Saat tengah berfokus menyimak berita, tiba-tiba laki-laki paruh baya yang duduk di sebelah saya menyeletuk.
“Kamu tahu kenapa penjara di Belanda kekurangan penjahat?”
“Mungkin di sana banyak orang baik dan waras,” balas saya spontan. Sengaja saya tambahkan kata “mungkin” bukan karena saya ragu atas jawaban yang saya ucapkan, tapi itu bagian dari bumbu agar saya tidak terkesan sok benar.
“Jadi di negara kita penyebab penjara tumpah ruah karena banyak orang jahat dan orang tidak waras?”
“Pendapat saya begitu. Mungkin bapak punya pendapat lain?”
“Jawabannya kesejahteraan. Angka kejahatan bisa ditekan kalau masyarakat sejahtera.”
“Lima puluh persen saya sependapat sama bapak.”
“Kenapa cuma lima puluh persen?”
“Menurut saya yang lima puluh persen lagi ada pada akhlak yang baik.”
“Sok tahu kamu!”
“Bapak boleh saja mengatakan saya sok tahu, tapi saya punya alasan logis.”
Lelaki paruh baya itu senyum kering menatap saya seperti mengejek. “Apa alasan logis kamu?” tanyanya.
“Sejahtera, kesejahteraan berarti keadaan sejahtera; keamanan, keselamatan, ketentraman. Yang bapak sampaikan itu tujuan, sementara bapak melupakan proses menuju tujuan tersebut. Kita bisa memperbaiki akhlak (budi pekerti) tanpa harus sejahtera lebih dahulu, tetapi kita tidak akan bisa sejahtera tanpa membenahi akhlak. Jika yang bapak maksud sejahtera secara ekonomi, para pejabat kita kurang apa? Kenyataannya masih banyak oknum pejabat kita yang korupsi.”
Laki-laki paruh baya mangguk-mangguk, kemudian bangkit dari tempat duduk.
“Cara berpikir kamu keren! Saya pamit dulu,” ucapnya sambil menepuk-nepuk bahu saya.

Selasa

Balada 2J

Image google

Bang, tadi sore tetangga kita beli tv baru, kita kapan ganti tv?” tanya Jubaidah pada suaminya sembari mengaduk secangkir kopi.
Julkipli diam seribu basa pura-pura tidak mendengar, ia terus membuka lembaran koran terbitan sepuluh tahun lalu di atas sofa usang rumah kontrakan sepetak yang sudah dua tahun mereka tempati.
“Baaaaang!”
“Apaan sih?”
“Ih, abang gitu ya, tadi aku nanya lo!”
“Tv kita kan masih bagus.”
“Bagus apanya, layar penuh laler begitu dibilang bagus, mana masih hitam putih pula.”
“Buat apa ganti tv? Lagian diganti juga namanya enggak bakal berubah, tetap aja tipi.”
“Tetangga sebelah sudah punya tv baru, Bang! Masa kita masih pakai tv lama. Abang udah enggak sayang ya sama Idah?”
“Abang sayang sama Idah, sumpah mati deh sayaaaaang banget. Sayang sama Idah, enggak sayang sama TV baru!”