Minggu

AYAM SAYUR

Image: tikatizta.blogspot.com

Pak Toyo memejamkan mata penuh penghayatan, menikmati seruput pertama kopi hitam pesanannya. Sementara Pak Warsidi yang menjadi teman bercakap-cakapnya siang itu tengah fokus menatap layar ponsel, membalas pesan dari anak sulungnya yang sudah dua tahun bekerja di luar negeri.
“Zaman edan, semua jadi kebolak-balik,” celetuk Pak Toyo menggeleng-gelengkan kepala saat melihat seorang pria muda melintas sambil menggendong anaknya yang masih bayi.
“Kebolak-balik bagaimana?” tanya Pak Warsidi sembari meletakkan ponsel di atas meja.


“Lihat deh si Erwin itu, usia masih muda, baru nikah, baru punya anak satu, tapi mau aja diperintah bini mengasuh anak, sementara istrinya kerja,” balas Pak Toyo.
“Itu asumsi Pak Toyo saja, apa Pak Toyo sendiri sudah bertanya langsung ke si Erwin?”
“Ah, yang udah jelas begitu masa harus ditanya lagi.”
“Ya harus diperjelas dong Pak Toyo, biar semua tidak abu-abu.”
“Kok abu-abu, wong sampean sendiri juga lihat barusan.”
“Nah, orang seperti Pak Toyo ini nih sekarang banyak hidup di negeri plus enam dua (+62), berpendapat seolah paling benar, tapi atas dasar perkiraan, dugaan, ujung-ujungnya jadi kabar bohong, jadi hoaks.”
“Lah, lah, lah, emangnya sampean punya data untuk membantah pernyataan saya tadi?” tanya Pak Toyo bersemangat.
“Jelas punya.”
“Mana buktinya? Jangan-jangan sampean yang hoaks! Jujur ya, saya sebagai laki-laki merasa terhina melihat si Erwin diperlakukan seperti itu sama istrinya. Di mana letak harga diri kita sebagai laki-laki, sebagai kepala keluarga, jika hanya manut saja diperintah istri. Saya berkaca pada diri sendiri, bagi saya segala urusan anak, segala urusan rumah tangga, itu tanggung jawab istri, sementara tanggung jawab saya sebagai suami mencari nafkah untuk mereka.”
Pak Warsidi menyunggingkan senyum, menyaksikan Pak Toyo begitu bersemangat.
“Maaf, sebelumnya saya mau tanya dulu,” ucap Pak Warsidi sambil menyeruput kopi. “Pak Toyo pernah merantau nggak? Atau hidup di perantauan, jauh dari keluarga dan sanak saudara?”
“Belum.”
“Saya melihat Pak Toyo ini seperti bangau yang dari matahari terbit, hingga matahari terbenam hanya berputar-putar di sekitar kubangan, tanpa pernah terbang.”
“Apa maksud sampean menyamakan saya dengan burung bangau?”
“Begini, Pak Toyo. Bukannya saya membela Erwin, tapi saya juga pernah berada di posisi Erwin.”
“Berarti sampean laki-laki lemah, ha-ha-ha.”
“Dengar dulu.”
“Apalagi yang mau didengar? Sudah jelas kok, sampean separtai sama si Erwin. PSTI, Persatuan Suami Takut Istri, ha-ha-ha.”
Pak Warsidi senyum tawar menyaksikan lawan bicaranya tertawa terbahak-bahak.
“Boleh saya lanjut bicara?” tanya Pak Warsidi.
“Silakan! Kepo juga saya sama isi curhatan anggota PSTI, ha-ha-ha. Pedihnya hidup ini, ha-ha-ha. Hidup ini kejam jenderal! Ha-ha-ha.”
“Saya lanjut, ya?”
“Silakan, silakan, ha-ha-ha.” Pak Toyo kembali tertawa sambil memegang perut.
“Saya dulu setelah menikah dan punya anak satu, memboyong keluarga kecil saya berangkat ke ibu kota, merantau demi memperbaiki nasib. Waktu itu Andre, anak sulung saya yang sekarang kerja di luar negeri, umurnya baru enam bulan. Dulu prinsip saya, sama persis seperti prinsip Pak Toyo. Urusan anak, urusan rumah tangga, beres-beres rumah dan segala tetek bengeknya itu sepenuhnya tanggung jawab istri. Namun, hidup di perantauan dan jauh dari sanak saudara, membuat saya harus menyingkirkan prinsip bodoh itu.”
Pak Toyo menyeringai mendengar cerita Pak Warsidi.
“Sebulan lebih saya luntang-lantung di ibu kota tanpa pekerjaan, sementara bekal yang saya bawa dari kampung halaman sudah mulai menipis.”
“Bentar, bentar! Sampean kok malah curhat benaran. Langsung ke pokok cerita saja. Kita tadi lagi bahas Erwin lo, kenapa cerita sampean malah melebar ke mana-mana?”
“Hee ... oke saya ringkas saja. Singkat cerita, saya diterima kerja di ibu kota. Baru sebulan kerja, istri saya jatuh sakit. Muntah-muntah dan panas tinggi, kemudian kulitnya berubah menjadi kuning. Kata dokter istri saya terkena hepatitis. Selain harus istirahat total, istri saya juga harus diisolasi, baik itu tempat tidurnya, pakaian bekas pakainya, tempat makannya semua harus dipisah, agar virus tidak menyebar. Dari sana prinsip bodoh yang sebelumnya saya pegang teguh mendapat ujian. Anak saya yang biasa menyusu sama ibunya dilarang menyusu oleh dokter dan harus menggunakan susu formula. Beruntung perusahaan tempat saya bekerja memberi saya keringanan dan memperbolehkan saya cuti, sehingga saya bisa fokus mengurus anak dan istri yang tengah sakit. Di sana saya merasa mendapat tamparan keras. Prinsip saya luntur, saya yang belum pernah sekalipun memandikan bayi, mau tidak mau harus belajar dan wajib bisa memandikan bayi. Saya yang tidak biasa mencuci piring, mencuci baju, menyapu, mengepel, harus melakukan semua itu, sebab di ibu kota saya dan istri tidak punya sanak saudara. Coba Pak Toyo bayangkan, jika Pak Toyo berada di posisi seperti saya itu.”
Pak Toyo manggut-manggut.
“Sama seperti apa yang terjadi pada Erwin,” lanjut Pak Warsidi. “Saya tahu, karena baru kemarin sore saya berbincang dengan beliau. Erwin bercerita tentang kehidupannya yang jauh dari keluarga, sementara dia dan istrinya sama-sama bekerja. Masih untung jam kerja mereka berbeda. Istrinya masuk pagi, pulang siang, sedangkan Erwin, masuk siang, pulang malam. Karena alasan itu mereka bisa bergantian mengasuh anak. Jadi sekali lagi saya tegaskan, jika cara pandang hanya berdasarkan asumsi, hasilnya bisa benar, juga bisa salah.”
“Tapi—”
“Tapi apa? Tadi ‘kan sudah saya bilang, Pak Toyo itu ibarat bangau yang dari pagi hingga malam hanya berputar di sekitar kubangan, tanpa pernah terbang.”
Pak Toyo tidak terima disebut bangau yang tak pernah terbang oleh Pak Warsidi, betapa ia sangat ingin membantah semua tuduhan itu. Betapa dia ingin membuktikan, tidak hanya kepada Pak Warsidi, juga kepada dunia, bahwa dia adalah seorang laki-laki yang punya prinsip kuat, seorang laki-laki yang tidak akan pernah mau diatur perempuan. Belum sempat Pak Toyo berkata kembali kepada Pak Warsidi, seorang perempuan paruh baya berpakaian rapi menghampiri mereka.
“Bapak ini malah nongkrong, bukannya bantu beres-beres rumah,” ucap Bu Toyo. “Ibu mau pergi arisan, tolong piring kotor sama baju kotor yang ada di ember belakang dibereskan. Tadi habis makan, piring bukannya langsung dicuci, malah pergi nongkrong,” omel Bu Toyo. Sementara Pak Toyo mengkeret, raut wajahnya persis kucing dibawakan lidi.
Pak Warsidi tertunduk menahan tawa. Beberapa detik setelah perempuan paruh baya itu berlalu, tawa Pak Warsidi pecah membuncah kebisuan.
“Ha-ha-ha. Harimau tidak pernah mengaku harimau, kecuali aslinya dia kucing, ha-ha-ha. Ayam jago tidak akan pernah mengaku ayam jago, kecuali aslinya dia ayam sayur! Ha-ha-ha.”
Pak Toyo semakin mengkeret dengan wajah merah padam, kemudian bangkit dari tempat duduk, melangkah pulang tanpa kata-kata.


Bandung, 29 Mei 2019



TM Hendry, s

2 komentar:

  1. terkadang memang kita hidup dalam asumsi kita sendiri. Semoga kita terhindar dari yg seperti itu ya...
    Ternyata Pak Toyo sendiri yg takut sama istri ya... wkwkwk

    BalasHapus
  2. 😂😂😂

    BalasHapus