Senin

Patah

Image Google

Malam itu Ibu menelpon dan memberitahu aku, tiga hari lagi mbak Fira kakakku yang paling tua mau pindah ke rumah barunya. Kebetulan aku memang lagi cuti kerja, Ibu memintaku pulang kampung ke Jogja.
“Hari minggu mbakyumu pindah rumah, pulang ya, Nak! Sekalian Ibu mau mengenalkan kamu sama anaknya pak Rudi.”
Sejenak aku terdiam mendengar ujung kalimat yang diucapkan Ibu. “Ibu pasti mau menjodohkan aku lagi,” pikirku.
“Widi ndak suka dijodoh-jodohkan kayak gitu, Bu,” aku berusaha menolak rencana Ibu, namun Ibu terus membujuk.
“Anaknya pak Rudi itu tampan loh, baik. Pokoknya serasi banget sama anak Ibu yang cantik ini.”
Setelah itu aku tidak tahu harus berkata apalagi memberi pengertian kepada Ibu. Aku tidak suka dengan rencana ibuku, tapi aku juga tidak ingin Ibuku kecewa. Belum sempat aku menjawab, Ibu kembali berkata. “Perjodohan kalau sama-sama cocok apa salahnya. Kalau tidak cocok, ya ndak usah diteruskan.” Begitu cara Ibu meyakinkan aku. Cukup lama aku terdiam dan berpikir, sebelum aku menyetujui permintaan Ibu.
Aku tidak habis pikir, kenapa Ibu begitu semangat memintaku untuk segera menikah? Padahal usiaku masih sangat muda. Baru seminggu yang lalu aku merayakan ulang tahunku yang ke dua puluh satu. Aah sudahlah, orang tua manapun pasti ingin melihat anaknya bahagia. Jika anaknya bahagia, sebagai orang tua ia juga pasti ikut bahagia,” pikirku.

Minggu

The King of Kondor

Image Google

Pagi itu Andri bangun kesiangan. Semalam ia terlambat tidur gara-gara keasyikan menonton dangdutan di lapangan desa. Acara dangdutan yang diadakan untuk memeriahkan ulang tahun karang taruna desa Rawa Jolang itu, baru berakhir pukul tiga dini hari. Andri lupa, padahal minggu pagi itu ia punya janji dengan Adit.

Mereka berdua berencana menangkap kodok puru hutan, di kebun milik pakle Veyznya Andri, yang berada di kaki bukit arah timur desa Rawa Jolang. Sebagai bahan dasar tugas biologi yang harus mereka bawa ke sekolah esok hari.

Saat Adit datang kerumahnya, Andri masih terlihat kusut. Ia lagi asyik menonton program televisi kesukaannya, Masha and the Bear.  “Ndri, kita jadi ke kebun nggak ni?” sapa Adit. Dengan raut wajah memelas, Andri menjawab, “besok-besok aja gimana, Dit? Lagi seru, ni!” Adit terdiam. “Ya sudah, aku pergi sendiri aja. Siap-siap aja besok pagi kamu dihukum lagi oleh pak Jara Kada, karena tidak membawa bahan untuk tugas biologi. Kamu nggak malu, disuruh berjemur lagi di dekat tiang bendera?” Sambung Adit, sambil membalikkan badan, lalu melangkah meninggalkan Andri. Sementara Andri terdiam membayangkan hukuman yang akan ia terima dari pak Jara Kada, jika besok tidak mengumpulkan kodok puru hutan, untuk diteliti di laboratorium sekolah.

Selasa

Badar Besi

Image google

Pulang sekolah, wajah Andri terlihat lebih kusut dari biasanya, ia teringat dongeng tentang badar besi yang diceritakan oleh pendongeng tua yang biasa mangkal di depan pagar sekolahannya. “Apa iya, zaman sekarang masih ada cincin yang membuat pemakainya kebal senjata?” Andri bertanya-tanya dalam hati.

Masih membekas di ingatan remaja yang baru duduk di bangku kelas sepuluh itu tentang badar besi yang diceritakan pendongeng. Ia membayangkan, seandainya ia memiliki cincin badar besi, tentu ia akan menjadi super hero yang disegani seantero bumi.

Puas berhayal sambil tidur-tiduran di atas tikar karet yang terhampar di ruang tengah. Andri bangkit, lalu bergegas menuju dapur, sambil menggenggam smartphone baru hadiah ulang tahun dari Paklenya.

 “Mak, minta duit lima puluh ribu!”

Mak Ratna kaget, hampir saja pisau dapur yang sedang ia gunakan untuk mengiris bawang itu melukai jarinya. Ia menoleh ke sumber suara. Di pintu yang menghubungkan antara dapur dan ruang tengah, mak Ratna melihat Andri berdiri sambil menggengam handphone di tangan kanannya.

“Kamu iki Le, bikin mak kaget aja. Buat apa, kamu meminta duit sebanyak itu?” Tanya mak Ratna. “Buat beli kondom, Mak!” jawab Andri. Mak Ratna terperangah, jantungnya seperti terhenti berdetak, petir seolah telah membakar ulu hatinya, matanya melotot tajam, amarahnya seketika memuncak, mendengar jawaban dari anak kesayanganya itu. “Apaaaaaaa? Mak nggak salah dengar kan? Bisa diulang lagi!” Mak ratna kembali bertanya dengan nada penasaran. “Buat beli kondom, Mak! Beli kondom, beli kondom, beli kondooom!.” Jawab Andri sambil menggerutu. Nafas mak Ratna mendadak tersengap, lalu ia berlari secepat The Flash menuju sofa yang tersusun rapi di ruang tamu. Sambil menjatuhkan diri di atas sofa empuk, mak Ratna pun pingsan. (Pengarang: Pingsan kok pilih-pilih tempat.:D)

Andri terpaku menyaksikan Emaknya yang tidak sadarkan diri. Sambil menangis histeris, Andri berteriak “Maaak, jangan tinggalkan akuuu!” Setelah itu Andri pun ikut pingsan.


Kamis

Secarik Kertas Tanpa Makna



Di lorong gang pemukiman padat penduduk, seorang Lelaki berpakaian necis berjalan sambil menggenggam secarik kertas di tangan kirinya. Detak langkahnya menghunus debu bekas galian, menghinggapi sepatu pantofel hitam yang membungkus kakinya.  Di tengah perjalanan, Ia melihat tiga orang bocah usia belasan sedang asyik bermain bola plastik. Sejenak Lelaki necis menghentikan langkahnya, lalu menghampiri salah seorang bocah.

“Dik, namanya siapa?” Tanya Lelaki necis.


Bocah: Andi, Om!


Lelaki necis: Andi sekarang kelas berapa?


Bocah: Sudah enggak sekolah, Om.


Lelaki necis: Kenapa tidak sekolah?


Bocah: Tiga bulan yang lalu Ayah sakit keras dan sampai sekarang belum sembuh. Ayah adalah tulang punggung keluarga kami. Ibu yang biasanya bertugas mengurus rumah tangga, memasak, beres-beres rumah, merawatku dan dua adikku, sekarang harus bekerja menggantikan Ayah. Ibuku sekarang berjualan makanan kecil, hasilnya hanya cukup untuk biaya makan kami sehari-hari, sisanya untuk biaya berobat Ayah.”


Lelaki necis terdiam, matanya berkaca, sambil membuka secarik kertas dari tangan kirinya, ia menuliskan sesuatu.