Selasa

Kena Teepu


Apes, itulah yang saya alami ketika naik Angkot kemarin sore. Dengan semena-mena tanpa perasaan, seorang perempuan paruh baya menuduh saya mengambil dompet miliknya. Dongkol, emosi, campur aduk jadi satu. Dan peristiwa kemarin itu benar-benar  akan menjadi pengalaman buruk seumur hidup saya.
Angkot sesak penumpang, duduk desak-desakan, sore menjelang magrib bertepatan pas jam pulang kerja, jam pulang sekolah juga. Perempuan paruh baya itu turun duluan dari angkot, ketika hendak membayar ongkos, ia tampak panik mengubek-ubek isi tasnya. Jreeng! Sorot matanya tertuju ke saya, dengan jari telunjuk tangan kirinya dia menunjuk tajam dan menuduh saya telah mengambil dompetnya.  Sumpah deh, dongkol kuadrat, asem benar tu perempuan.


Dituduh tanpa bukti yang jelas, saya protes, hingga terjadi perdebatan antara saya dan si perempuan tukang tuduh tersebut. Sopir dan beberapa penumpang lain berusaha menengahi. Emosi saya memuncak terasa sudah di ubun-ubun, enak saja main tudah-tuduh tanpa bukti. Cekcok saya dan perempuan ember asal tuduh itu mengundang perhatian banyak orang berkerumun.
Di antara kerumunan, muncul Polantas dengan suara lantang bertanya apa yang tengah terjadi, saya dan perempuan paruh baya berebut menceritakan. Ditengahi Polisi, ceracauan perempuan itu melunak, setelah mendengar keterangan dari saya, si perempuan, dan beberapa penumpang lain, pak Polisi meminta saya bersedia digeledah. Saya keluarkan semua isi kantong, termasuk dompet, handphone, dan beberapa uang kencring.
Tidak ada dompet si Perempuan, dengan begitu tuduhan semena-menanya terhadap saya tidak terbukti. Setelah itu Polisi meminta izin kepada si perempuan agar diperkenankan memeriksa tasnya. Perempuan itu langsung menyodorkan tas kepada Polisi. Kemudian Polisi mengeluarkan isi tas perempuan itu satu persatu. Bedak, handphone, dan yang ke tiga dompet kecil, saat Polisi menanyakan, “ini dompet ibu yang hilang?” si perempuan mengangguk, semua orang yang ada di sana bersorak ke arah si perempuan, namun emosi saya makin memuncak. Jelas saya tidak terima dipermalukan di depan banyak orang. Perempuan itu dengan entengnya minta maaf, seolah tanpa dosa sudah menuduh dan memfitnah saya.
Polisi ikut membujuk agar saya memaafkan si perempuan, tapi batin saya menolak keras, dalam pikiran saya, perempuan asal tuduh itu harus dapat pelajaran, agar ada efek jera setelah kejadian, agar orang lain tidak menjadi korban berikutnya seperti saya. Malu banget dituduh ujuk-ujuk seperti itu.
Mendengar saya ingin memperpanjang perkara, si perempuan tampak gentar, ia memohon dan meminta bicara empat mata dengan saya. Saya menolak, bagi saya sudah tidak ada lagi kompromi, sebab ini menyangkut harga diri. Saya seperti sampah diperlakukan seperti itu di hadapan banyak orang. Perempuan itu terus memohon, karena merasa malu dilihat banyak orang, akhirnya saya melunak dan bersedia untuk bicara empat mata.
Saya kembali kaget, setelah tahu ternyata tujuan si perempuan mengajak saya bicara empat mata hanya untuk meminta agar saya tidak memperpanjang kasus itu. Ekor mata saya melihat jelas, si perempuan mengeluarkan sesuatu dari dalam dompetnya kemudian mengajak saya salaman sembari minta maaf, memohon agar kasus itu tidak diperpanjang. Kurang ajar banget, saya makin terhina melihat sikapnya, seolah semua bisa dibeli pakai uang, dan harga diri saya tidak serendah nilai yang disodorkan perempuan itu.
Ia menangis terisak. “Dengan apalagi saya harus minta maaf?” ucapnya.
Saya membatu, dalam hati saya pengin banget memaki, tapi saya masih manusia beradab, bila harus memaki orang lain, apalagi usianya jelas di atas saya, sepantar kakak saya yang paling tua.
Saya perhatikan perempuan itu, kembali ia memasukkan tangan ke dalam dompetnya, kali ini saya melihat ada beberapa lembaran pecahan seratus ribu yang ia keluarkan, kemudian ia genggam kuat, lalu kembali menyodorkan tangannya ke arah saya sembari mengucap maaf.
Sore hampir usai, magrib tinggal hitungan menit, saya melunak, Tuhan saja maha pemaaf, tidak seharusnya juga saya sekeras itu. Ini bukan soal uang, saya tak mengharapkan uang tersebut, barangkali itu bonus atas fitnah yang saya terima. Tangan saya bergerak pelan menyambut uluran tangan si perempuan paruh baya, belum sempat tangan kami bertaut, saya terbangun ketika istri mendorong-dorong lengan saya sambil berkata, “Bang, bangun, udah magrib!”

TAMAT


Kisah ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama tokoh dan cerita, semua itu di luar kuasa yang tengah berkuasa. :D :D :D


Bandung, 05 Februari 2018


TM Hendry, s

Tidak ada komentar:

Posting Komentar