Senin

Beroya

Image Google

Berbaring di kamar sepi, termangu sendiri merangkul malam. Tatapan kosong penuh sesal menjelajah pada deretan foto dalam bingkai masa lalu. Indah memang, tapi semua tak akan pernah terulang. Kebahagiaan beribu tahun seolah sirna dan tak pernah ada karena kebodohan sesaat, menorehkan luka yang belum ada satu pun obat penawarnya.
“Risda, makan dulu! Dari siang kamu belum makan.” Suara nenek membuyarkan tangisku.
“Iya, Nek!” Aku bergegas bangkit dari tempat tidur, menyeka sisa air mata yang membasahi wajahku.
Aku benar-benar kehilangan selera makan.
“Tuhan, kenapa begitu sangat berat ujian yang engkau berikan kepada hamba?”



***

Enam belas tahun yang lalu, kala itu usiaku baru empat tahun, Ayah dan Ibu berpisah. Dalam musyawarah keluarga, Ayah dan Ibu berebut untuk mendapatkan hak asuh penuh atas aku. Perdebatan kala itu dimenangkan oleh keluarga Ibuku. Tapi hanya dua puluh hari, Ibu seolah mencampakkan aku begitu saja, ketika ia mengantarkan aku ke rumah nenek (orang tua Ayahku), entah apa alasannya. Yang aku ingat kala itu, aku menangis sejadi-jadinya ketika menyaksikan Ibu pergi. Nenek dan keluarga besar Ayah yang membesarkanku hingga aku dewasa, entah di mana Ibuku? Apakah sosok Ibu yang kurindukan itu ada?
Kala usiaku menginjak tujuh tahun, Ayah menikah lagi dengan seorang perempuan yang sangat layak kusebut bidadari. Awalnya aku menolak keinginan Ayah untuk menikah lagi. Satu hal yang paling aku takutkan, aku sangat khawatir kehilangan perhatian dari Ayah bila dia menikah lagi, ditambah citra Ibu tiri yang sering aku dengar selalu digambarkan dengan sosok yang kejam tanpa hati. Namun ternyata aku keliru, Ibu baruku sama persis seperti Nenek, betapa sangat tulus perhatian dan kasih sayang yang ia berikan kepadaku.
Enam bulan setelah Ayah menikah, aku mendapat kabar dari tetangga, tentang Ibuku, ia menikah lagi dengan seorang pengusaha kaya, yang memang berbanding terbalik dengan Ayahku, orang biasa dengan penghasilan yang hanya cukup untuk memenuhi biaya kebutuhan sehari-hari. Mungkin karena itu Ibu meninggalkan Ayah begitu saja.
Kini aku telah tumbuh dewasa, tanpa sentuhan seorang Ibu, semenjak aku umur empat tahun. Tuhan telah mengirimkan aku malaikat dalam sosok Ayah yang baik, Kakek yang baik, Nenek yang baik, Paman yang baik, dan Ibu tiri yang baik. Dari mereka aku mendapatkan perhatian, kasih sayang yang seharusnya aku terima dari Ibu kandungku.
Terkadang aku merasa iri menyaksikan teman-teman sebaya, betapa sangat sempurna kehidupan mereka, bisa memeluk Ibu kapan saja ia mau. Tapi aku? Ah, hidup ini terlalu indah untuk diratapi. Aku selalu berusaha menjadi orang yang bersyukur dengan kehidupanku sekarang, walau terkadang rasa iri membuatku kewalahan menenangkan batin, bukankah ketetapan dari langit itu pasti? Dan sampai sekarang aku masih percaya, Tuhan tidak akan memberikan sesuatu yang buruk untuk ciptaannya, termasuk aku.

***

Sekarang aku kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri yang berada di kotaku. Jarak rumah Nenek yang jauh dari kampus, membuatku terpaksa indekos. Dua hari yang lalu aku mendapat kabar dari tetangga sebelah rumah, Ibuku sakit parah dan dirawat di rumah sakit. Saat bersamaan Ayah meneleponku, memberi kabar serupa, tentang nenekku yang juga sakit.
Niatku yang sudah bulat untuk membesuk Ibu, aku batalkan demi Nenek. Bagiku Nenek adalah segalanya, sebab sentuhan tangannyalah yang membasuhku dengan kasih sayang yang tulus semenjak aku usia empat tahun, hingga sekarang. Nenek mengajari aku banyak hal tentang hitam putih kehidupan.
Pagi itu aku berangkat menuju rumah sakit tempat Nenek dirawat.
Kaki Nenek terkilir karena jatuh di kamar mandi. Aku bersyukur, cidera di kaki nenek tidak terlalu parah, sehingga tidak perlu dirawat inap. Pada pagi itu juga, Dokter sudah memperbolehkan Nenek untuk dibawa pulang.
Ketika berada di rumah sakit, telepon genggam milikku sengaja aku matikan.
Usai membesuk Nenek, aku langsung bergegas menuju kampus, sebab hari itu ada satu mata kuliah yang harus aku ikuti.
Aku baru sempat memegang handphone pada malam harinya ketika sudah berada di kosan. Sesaat setelah tombol power aku tekan, aku mendapati banyak pesan yang masuk ke inbox telepon genggamku. Dari tetangga, dari Ayah, dari Ibu tiriku, juga dari Nenek, tentang Ibuku yang telah berpulang ke pangkuan sang Khaliq.
Kala itu juga aku langsung menelepon Ayah. Dari Ayah aku mengetahui, tadi sore Ibuku sudah dimakamkan. Ayah, Ibu tiri, dan Nenek, walau tengah sakit, beserta keluarga besar Ayahku ikut melayat. Tapi aku? Sedurhaka itukah aku?
Jarum jam yang terpajang di dinding kamar kosanku tepat berada di angka tujuh. Selepas Isya, Ayah memintaku untuk pulang.
Berpayung gerimis yang turun membasuh bumi, aku melangkah tergesa mencari angkutan yang akan mengantarkan aku pulang ke rumah Nenek. Perjalanan selama satu jam lebih, aku lewati dengan perasaan yang tidak menentu.
Pukul setengah sembilan malam, aku tiba di rumah Nenek. Di sana telah menunggu Nenek, Ayah, dan Ibu tiriku, sementara Kakek sudah tidur. Sorot mata berkaca-kaca dari orang yang aku sayang, laksana busur panah menerkam kegaduhan batinku.
Setelah aku menyalami mereka, Nenek langsung memelukku. Dengan suara bergetar menahan tangis, Nenek berkata.    
“Risda, nenek tidak pernah mengajarkan kamu untuk membenci siapapun, termasuk Ibumu. Apapun alasan yang membuat kamu abai terhadap Ibumu yang tengah sakit hingga meninggal, nenek tidak suka itu. Biar bagaimanapun, Ibumu adalah wali yang dipilihkan Allah untukmu, dia perempuan yang mengandung kamu dengan penuh kasih sayang selama sembilan bulan. Dia yang dengan ikhlas mempertaruhkan nyawanya kala melahirkan kamu. Dia wanita pertama yang membasuh kamu dengan kasih sayang, menjagamu siang dan malam. Semua itu bukanlah perjuangan yang mudah.”
Nasihat Nenek benar-benar membuatku terenyuh.
Setelah itu Nenek menyodorkan selembar kertas kepadaku.
“Ini surat dari Ibumu,” ucap Nenek lirih.

Risda anakku sayang. Bidadari Ibu yang paling cantik, sehat selalu ya nak.
Maafkan Ibu, tidak ada niat di hati Ibu untuk mengabaikan kamu. Keinginan Ibu untuk tetap berkarir, membuat Ibu khawatir tidak bisa merawat dan mendidik kamu dengan baik. Atas alasan itu Ibu menyerahkan kamu kepada Ayahmu, sebab Ibu percaya, di sana kamu akan mendapat apa yang pantas kamu dapatkan. Ibu menyesal, gemerlap dunia telah membuat mata Ibu silau, silau akan keindahan sesaat, hingga mengabaikan kewajiban Ibu untuk merawat dan membesarkan kamu dengan kasih sayang.
Satu harap Ibu sebelum pergi, Ibu ingin memeluk kamu. Maafkan Ibu, Nak. Ibu sayang sama kamu, Risda. 

***

Kala air mata membanjiri sesal di atas gundukan tanah merah. Betapa bodohnya aku, maafkan aku Ibu ... Aku sayang sama Ibu!


Bandung, 30 November 2015



TM Hendry, s

Tidak ada komentar:

Posting Komentar