Rabu

Pergi Bersama Mimpi


Detak jam weker yang terpajang di meja kamarku menghentak keheningan. Jarum pendeknya tepat berada di angka satu, sementara jariku masih terus menari di atas keyboard laptop untuk menuntaskan laporan yang baru selesai setengah.
Aku merasa sangat lelah, dari siang kondisi badanku memang kurang fit. Seharusnya laporan keuangan ini bukan aku yang mengerjakannya, tapi Dini. Karena Dini lagi cuti untuk menghadiri resepsi pernikahan sepupunya, terpaksa aku mendapat tugas tambahan.
Hembusan angin malam yang masuk melalui celah jendela membuat tubuhku semakin lemah. Badanku terasa panas dingin, perlahan kurebahkan tubuh lelahku, meninggalkan laporan yang baru selesai setengah.
“Besok pagi sebelum berangkat ke kantor masih ada waktu.” Pikirku.
Antara lelap dan terjaga, aku teringat laptop-ku yang masih menyala. Aku mencoba bangkit dari tempat tidur, tapi tubuhku terasa sangat berat, begitu juga mataku seperti enggan terbuka. Sekuat tenaga kupaksakan tubuhku bangkit dari tempat tidur. Saat aku berhasil duduk, pada salah satu pojok kamar, aku melihat kakek tua berjubah putih berdiri menghadap ke arahku. Badan kakek berjubah itu tinggi, tapi aku tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas. Aku heran, kenapa lampu kamarku menjadi redup, padahal sebelum aku merebahkan diri tadi, lampu kamar yang belum sempat aku matikan itu cahayanya sangat terang.


Mataku tak berkedip manatap ke arah kakek berjubah, aku ingin berbicara tapi lidahku kelu. Kemudian kakek itu mengulurkan tangannya kepadaku dan berkata.
“Ikutlah denganku!”
Aku seperti mati suri, dapat melihat, bisa mendengar tapi tidak mampu berbuat apa-apa.
“Ada apa ini? Kenapa semua terasa aneh, apakah aku lagi bermimpi? Ya Tuhan, semoga saja aku benaran lagi bermimpi. Semua ini sangat menakutkan.”
Dalam hati aku melafazkan semua doa-doa yang pernah aku pelajari.
Cucuran keringat mulai membasahi tubuhku. Saat aku berkedip, tiba-tiba ruangan kamarku kembali terang, aku tidak lagi melihat kakek berjubah yang sebelumnya berdiri di pojok kamar, seiring terdengar ketukan pintu dan suara Ibuku memanggil dari luar.
“Fitrah, bangun! Salat Shubuh dulu.”
Aku mengatur napas yang masih tak beraturan sambil terus istighfar.
“Iya, Bu.” Balasku dari dalam kamar. Kemudian aku duduk bersila di atas kasur mengingat-ingat kembali mimpi menyeramkan yang baru saja aku alami.
Kata orang mimpi itu bunga tidur. Jika benar mimpi adalah bunga tidur, ini jelas bunga yang sangat tidak indah. Aku tidak ingin mimpi serupa hadir lagi.
Aku sengaja tidak menceritakan mimpi aneh itu kepada siapapun, termasuk kepada Ibuku. Menurutku mimpi hanya mainan tidur yang tidak memiliki korelasi dengan dunia nyata.
Usai mandi dan salat Shubuh, aku kembali memainkan jari di atas keyboard laptop guna menuntaskan laporan yang baru selesai setengah.


v   


Malam berikutnya sebelum tidur aku dihinggapi rasa takut, khawatir mimpi seram tadi malam terulang lagi. Aku coba menghubungi si Aldi, berharap sahabatku itu mau menemaniku, tapi nomor handphone-nya tidak aktif.
Di luar aku mendengar rintik hujan mulai turun. Aku yang masih ketakutan hanya bisa pasrah dan berharap, semoga mimpi seram itu tidak hadir lagi malam ini. Tapi, saat mataku terpejam kakek berjubah itu kembali muncul di kamarku mengulurkan tangannya mengajakku pergi.
“Ikutlah denganku!”
Sama seperti malam sebelumnya, aku tidak bisa berkata apa-apa, seluruh tubuhku terasa beku, hingga akhirnya aku terbangun dengan tubuh menggigil yang sudah basah bermandikan keringat.
 Aku masih tak mengerti, kenapa mimpi itu terulang lagi?

Saat sarapan pagi bersama Ayah, Ibu dan dua Adik perempuanku. Di meja makan aku menceritakan mimpi didatangi kakek berjubah itu kepada mereka.
 Ayah dan Ibu tersenyum mendengarkan ceritaku.
“Mungkin karena kamu kelelahan.” Ayahku menanggapi.
“Kamu sih, kalau tidur langsung loncat aja ke kasur. Wudhu dulu, baca doa dulu, setelah itu baru tidur.” Ibu berkata sambil menuangkan teh hangat ke gelasku.
Rara adikku yang paling bontot juga ikut berbicara.
“Kak Fitrah kenapa nggak ikut saja sama kakek berjubah itu? Siapa tahu kak Fitrah diajak jalan-jalan ke luar negeri.”
Aku ketawa mendengar ocehan polos adik bungsuku yang masih duduk di bangku kelas empat SD itu.
“Jika nanti ia datang lagi, jangan ikut Den. Kalau Den ikut bisa ditinggalkan di hutan, di laut. Hii sereeem!” Pak Sobirin, sopir keluargaku ikut berkicau.
“Iya Den! Jangan-jangan itu kiriman dari orang jahat. Kayak guna-guna gitu.” Mbok Inah yang sehari-hari membantu Ibu membersihkan rumah dan memasak, turut serta menimpali komentar pak Sobirin.
Aku hanya tersenyum, aku tidak percaya dengan hal berbau magic seperti itu.

v   

Malam berikutnya aku mengikuti saran dari Ibuku. Usai wudhu dan baca doa, aku merebahkan diri di atas kasur. Dalam hati aku penasaran, seandainya aku mengikuti ajakan kakek berjubah itu, kira-kira dia akan membawaku pergi ke mana?
Benar saja, kakek berjubah putih kembali hadir di mimpiku.
“Ikutlah denganku!” Ucapnya sambil mengulurkan tangan.
Guna menjawab rasa penasaran, aku bangkit dari tempat tidur, kali ini tubuhku terasa sangat ringan. Kemudian aku mulai mengikuti langkah kakek berjubah. Ia membawaku melintasi kebun yang di sekelilingnya tumbuh pepohonan rindang. Cahaya purnama dari langit yang menyeruap di antara celah dedaunan menerangi jalan setapak yang kami lewati.
Kakek berjubah terus melangkah, sementara aku mengikutinya dari belakang. Tidak ada kata yang terucap, kami hanya saling diam. Usai melintasi perkebunan, aku dan kakek berjubah seperti sedang berada pada lorong kelam. Dalam lorong itu dari jauh nampak titik cahaya yang sangat kecil. Lorong gelap itu membuat jarak pandangku terbatas, tapi aku masih bisa melihat untaian jubah putih kakek tua yang melangkah di depanku.
Cahaya yang sebelumnya kecil mulai tampak membesar. Sepertinya aku dan kakek berjubah hampir tiba pada pintu keluar lorong gelap itu. Langkahku semakin terburu, rasa penasaran yang singgah di hatiku akan segera terjawab, mungkin jawabannya ada pada cahaya terang yang nampak di ujung lorong itu.
Ketika langkahku tiba dan terhenti di ujung lorong gelap, di hadapanku sudah tidak ada lagi kakek berjubah.
“Kemana perginya kakek berjubah itu? Wah, jangan-jangan apa yang disampaikan pak Sobirin benar  adanya. Kakek berjubah itu meninggalkan aku sendirian.” Aku membatin kesal.
Sambil terus melangkah keluar dari lorong gelap, aku masih memikirkan kakek berjubah yang pergi begitu saja meninggalkan aku sendirian di tempat entah berantah ini.
Di luar cahayanya cukup terang, aku dapat melihat dengan jelas area di sekitar tempat aku berdiri. Sepuluh meter dari pintu keluar lorong gelap, detak jantungku berdegup kencang, aku terperangah gemetar ketakutan. Ternyata saat ini aku lagi berada di area pemakaman. Tubuhku terasa dingin, perlahan aku melangkah mundur. Saat melangkah, kakiku membentur akar pohon besar, aku yang gagal menjaga keseimbangan terjatuh pada gundukan tanah yang masih merah belum ditumbuhi rumput, seperti kuburan baru.
Ketika aku mendongakkan kepala, mataku tertuju pada batu nisan yang tertancap pada gundukan tanah tempat ku terjatuh. Kudekatkan wajahku pada batu nisan itu. Aku terperanjat, pada batu nisan itu tampak jelas tertulis namaku.



Bandung, 17 Maret 2015


TM Hendry, s

Tidak ada komentar:

Posting Komentar