Siapa yang tidak senang disukai dua
cowok tampan sekaligus? Tidak aku, bukan juga kalian, pasti senang banget. Tidak
hanya tampan, dua-duanya anak orang kaya pula. Kesannya aku matre ya? Nggak apa dianggap matre, asal
jangan matre benaran, he-he. Tidak
hanya anak orang kaya, dua-duanya juga idola para cewek di sekolah. Wajar dong
aku bangga? Walau sebenarnya itu juga bukan prestasi yang pantas dibanggakan,
he-he.
Namaku Dera, baru seminggu yang lalu aku
merayakan ulang tahun yang ke-17. Wajahku nggak cantik-cantik banget. Tapi aku
punya daya tarik tersendiri yang jarang dimiliki perempuan lain. Jujur, di
sekolah banyak yang jauh lebih cantik dari aku, apalagi di luaran sana. Tapi
cantik aja tidak cukup untuk melumpuhkan hati cowok, kecuali cowok tersebut
memang dasarnya playboy, yang menilai
perempuan hanya dari sisi fisik semata. Menganggap perempuan bak bola yang bisa
dimainkan sesuka hati sebagai tantangan pemuas ego, ketika egonya berhasil
terpuaskan, lantas pergi mencari tantangan baru. Ogah banget kenal sama cowok
tipe itu.
Aku nggak tahu, apakah pendiam dan
memiliki sifat keibuan itu kelebihan atau bukan. Dari semua cowok yang
mendekati aku, delapan puluh persen alasan mereka karena dua hal yang aku
sebutin di atas. Pun begitu juga Gedie dan Rafa. Ini asli ya, bukan karena aku
yang kegeeran atau centil, atau
ganjen dan lain sebagainya. Dua cowok tampan itu sudah mengungkapkan
perasaannya. Kurang bukti apalagi coba?
Gedie nembak aku di kantin waktu jam
istirahat sekolah. Ia membawakan coklat kesukaan aku. Pokoknya romantis banget.
Sedangkan Rafa bilang suka waktu kami berkumpul di lapangan setelah main
basket. Cara Rafa mengungkapkan perasaannya nggak kalah romantis dibanding
Gedie. Tapi aku nggak langsung ngasih jawaban kepada mereka. Biar mereka
penasaran dan aku juga nggak terkesan murahan, he-he. Biasanya cewek kan emang
suka gitu ya, senang banget menggantung perasaan cowok. Aku minta waktu
berpikir kepada Gedie dan juga Rafa. Minta waktu tapi tanpa batas waktu. Mereka
mau aja menunggu, padahal aku juga nggak tahu, entah apa yang aku pikirkan.
Aku sudah mengenal keduanya dengan baik.
Aku juga sudah tahu karakter dan hobi masing-masing mereka. Gedie orangnya
sedikit urakan, sesuai sama hobinya. Semua orang tahu kalau Gedie anak band dan
jago main gitar. Karena hobinya itu ia jadi idola banyak cewek di sekolah. Band
Gedie sering tampil kalau ada event-event
besar di kota kami. Pernah sekali aku diajak Gedie menonton aksi panggungnya.
Ia terlihat sangat memesona ketika memetik dawai gitar.
Rafa secara penampilan berbeda sangat
dengan Gedie. Rafa itu anaknya pendiam, tapi maskulin. Hobi basket membuat
tubuh dia yang tinggi tampak atletis. Tim basket Rafa sudah sering juara, itu
sekaligus membuat nama dia terkenal di kalangan cewek-cewek. Yang nggak suka
basket aja bisa jadi suka, kalau udah lihat Rafa dribbling bola, apalagi sampai lihat dia alley-oop, macho banget. Tapi aku paling suka lihat Rafa melakukan jump shot, gayanya lucu.
Dekat dengan Gedie dan Rafa membuat aku
dimusuhi banyak cewek. Ada yang terang-terangan, ada juga yang diam-diam. Jujur
deh, aku bingung, kenapa aku dimusuhi. Lagian aku nggak pernah ngejar-ngejar
Gedie, nggak pernah ngejar-ngejar Rafa. Sebaliknya justru aku yang
dikejar-kejar sama mereka. Lantas kenapa cewek-cewek ganjen itu malah membenci
dan memusuhi aku? Aneh deh, dasar julid!
Pernah sekali, waktu jam istirahat, aku berjalan
ke kantin. Ada enam orang cewek berkumpul di pojok kelas, mereka menatap aku
kayak yang sinis gitu. Aku anteng aja melintas, peduli apa aku sama tatapan
mereka. Melihat aku santai, mereka semakin ngelunjak, aku dengar mereka
berbisik-bisik. “Ada princes lewat!” Setelah itu mereka tertawa-tawa. Kurang ajar banget kan mereka? Harusnya sih
aku senang dipanggil princes, kalau yang
manggilnya tulus. Tapi ini, kata-kata mereka itu satire, tujuannya jelas untuk
mengejek, menghina, karena mereka iri aku dekat sama Gedie dan Rafa. Aku cuek
dan masa bodoh aja, orang aku nggak salah. Mereka aja yang usil, kurang
kerjaan. Dasar sirik!
Tidak hanya kejadian di gang dekat
kantin itu saja. Banyak juga ancaman yang aku terima melalui surat kaleng yang
nggak aku ketahui siapa pengirimnya. Kadang setelah jam istirahat ada surat
nyempil di laci meja. Isinya nggak enak dibaca, penuh caci maki, meminta aku
menjauh dari Gedie dan Rafa. Parah! Norak! Aku tetap nggak peduli sama ancaman
itu. Yang penting aku nggak salah. Beda kalau ancaman itu benaran terjadi, akan
panjang urusannya.
Ketampanan Gedie dan Rafa membuat banyak
cewek jadi kalap. Nggak masalah, jika cewek-cewek itu suka Gedie atau suka sama
Rafa. Yang masalah itu, kenapa aku yang jadi sasaran mereka? Toh, bila pada
akhirnya dua cowok tampan itu memilih aku, jelas dong bukan salah aku. Salah
mereka kenapa suka sama aku.
***
Ayu, sahabatku lari kayak orang
kesurupan memberitahu, katanya Gedie sama Rafa berantem di lapangan basket.
Yang membuat aku kaget, kata Ayu mereka berkelahi karena memperebutkan aku.
Gila! Entah harus sedih atau bangga, yang pasti aku tidak suka dengan cara mereka.
Aku langsung berlari ke lapangan basket. Saat tiba aku melihat Gedie dan Rafa
lagi jual beli pukulan juga tendangan. Aku mendekati mereka untuk melerai.
“Kalian kenapa sih?” tanyaku. “Malu
tahu, ribut kayak anak kecil. Ditonton banyak orang.”
Kedatanganku membuat dua cowok itu
terdiam dengan wajah yang sama-sama lebam. Gedie lebam di jidat, Rafa lebam di
pipi bagian bawah mata.
“Si songong ini yang mulai duluan!”
balas Gedie menunjuk Rafa.
“Lo yang cari masalah, onyooon!” balas
Rafa sengit.
“Apa sih yang kalian ributkan, sampai
main pukul-pukulan segala?” Aku coba menengahi.
Dua-duanya tertunduk diam.
“Aku nggak suka si songong ini dekat
sama kamu,” ucap Gedie.
“Gue juga nggak suka lo dekat sama
Dera!” sambung Rafa tajam.
“Ooo, jadi kalian berantem gara-gara
aku? Harusnya kalau kalian berdua benaran laki-laki, caranya nggak pakai
berantem kayak gini. Kenapa nggak kalian tanya ke aku langsung, siapa yang aku
pilih di antara kalian berdua. Dengan gitu masalah bisa selesai tanpa ribut dan
ditonton banyak orang kayak gini. Bikin malu.”
“Jadi kamu milih siapa. Aku apa dia?”
tanya Gedie.
Aku terdiam lama, sebelum berkata tegas.
“Aku tahu kalian berdua cowok baik,
tampan, idola banyak cewek. Tapi maaf banget, aku tidak akan memilih. Tak mungkin
aku memilih dua cowok bodoh, yang berkelahi karena rebutan cewek.”
Setelah itu aku pergi meninggalkan
mereka berdua yang tertunduk menyesal. Dari jauh aku lihat Gedie dan Rafa
berpelukan. Sama-sama patah hati membuat mereka akur, dan aku berhasil menjadikan
dua orang itu berdamai. Aku bangga, karena menolak Gedie dan Rafa dengan cara
yang mungkin tidak mereka duga. Lagian, siapa juga yang mau pacaran sama
mereka, orang Mama sama Papa aku ngelarang aku pacaran, he-he.
Bandung, 23 Februari 2019
TM Hendry, s
Engkau masih anak sekolah, belum cukup umur untuk pacaran. hehe...
BalasHapusHe-he, belum boleh pacaran.
Hapus