Rabu

GANDORIAH

Antara Image

Debur ombak memecah buih di atas pasir pantai Gandoriah. Hembusan angin ditingkahi kepak sayap camar menari-nari pada alunan riak. Bersama kemilau jingga memeluk samudra, mentari tersipu menyongsong malam dari balik pulau Angsa Dua. Dalam kepingan senja nan teduh, pada ujung tumpukan batu pemecah ombak yang menjorok ke laut, Meta seorang perempuan muda duduk terpaku menikmati senja, ia melayangkan pandang ke tengah lautan, rambutnya yang panjang bersibak diterpa angin, kedua tangannya menggenggam erat buku harian bewarna merah muda. 
“Aku bukan Puti Gandoriah dan kamu bukan Anggun Nan Tongga, tapi … kenapa harus kita?” ucapnya lirih.
Perlahan Meta membuka buku harian.


Lembar pertama, Juli 2010
“Dear Diary … hari ini aku kesal banget. Kenapa aku harus satu lokal sama laki-laki menyebalkan itu? Namanya Candra, dia tu laki-laki paling menyebalkan yang pernah aku jumpai. Sok keren! Sok pintar! Pokoknya semua yang sok ada pada dia! Suka bikin kesal! Paling demen ngajak aku berantem. Kalau bisa memilih, dengan senang hati aku bersedia banget deh pindah dari lokal unggul, asal tidak satu ruangan sama dia.”

Lembar berikutnya, Agustus 2010.
“Ih, sebal sebal sebal! Masa aku dibilang pacaran sama Candra? Duh, semua teman-temanku mendadak norak! Siapa juga yang suka sama dia? Enggak banget deh!”

Lembar berikutnya,  September 2010.
“Memalukan, maluuuuuuuu! Buat sahabatku Sofi dan Ami, aku benci kalian! Aku malu banget saat kalian mendorong-dorong aku waktu kita berpapasan sama Candra di gang menuju laboratorium.”

Lembar berikutnya, Oktober 2010.
“Laki-laki menyebalkan itu kembali membuat ulah, buku catatan tugas aku dia sembunyikan. Ketika aku lagi panik mencari, dia enak-enaknya tertawa mengejek. Hai kamu! Kamu tu mengibarkan bendera perang dengan orang yang salah! Kamu pasti aku balas, pasti!”

Lembar berikutnya, November 2010.
“Hahaha, yeeeeeeeeees! Puaaaaas! Hari ini aku senang banget, sebab aku berhasil menuntaskan dendam pada laki-laki menyebalkan itu. Kasihan juga sih melihat dia celingak-celinguk mencari baju olahraganya yang aku sembunyikan di laci meja guru, ha ha ha.”

Lembar berikutnya, Januari 2011.
“Aku heran, setiap berkumpul sama Sofi dan Ami, yang mereka bahas selalu saja Candra. Penting gitu? Malas banget!”

Lembar berikutnya, Maret 2011.
“Usai pelajaran olahraga, sambil duduk bersila aku melepas lelah di bawah rindang pepohonan depan kelas. Tiba-tiba Candra datang, kemudian duduk tepat di sebelah aku sambil menyodorkan minuman dingin. Candra sengaja membawakan aku minumam sebagai simbol permintaan maaf dia yang selama ini sering membuat aku kesal. Dan kami pun berdamai, saling memaafkan, saling bertukar nomor telepon, saling follow akun media sosial.”

Lembar berikutnya, Mei 2011.
“Kangen perang sama kamu!”

Lembar berikutnya, Juni 2012.
“Kenapa kamu tidak hadir di acara perpisahan? Sementara aku tidak punya cukup keberanian untuk bertanya langsung kepada kamu sungguhpun lewat telepon atau media sosial.”

Lembar berikutnya, Juli 2012
“Ami cerita ke aku, kalau kamu mau melanjutkan kuliah di Jogja. Entah kenapa, setelah mendengar kabar itu aku merasa ada yang hilang dari diriku. Jujur, aku bingung dengan diriku sendiri, aku merasa aku bukan aku yang dulu. Tiba-tiba saja mataku terasa panas saat mendengar Ami bercerita tentang kamu. Luapan rasa takut akan kehilangan kamu kah? Apa pun itu, jelas tidak masuk akal, sementara di antara kita tidak terikat hubungan apa-apa. Tampaknya aku memang harus bercermin diri untuk sadar, sungguh kamu yang dulu aku benci telah berpindah tempat di hatiku.”

Lembar berikutnya,  Juli 2012.
“Candra, maaf banget, sebenarnya aku tidak tega melakukan ini, tapi aku tidak punya pilihan lain. Aku tidak punya kekuatan untuk jujur dengan perasaanku sendiri. Pilihan sulit harus aku ambil, agar aku sepenuhnya mampu melupakan kamu. Hari ini terpaksa aku memblokir semua akun media sosial milikmu, nomor teleponmu juga. Maaf!”

Lembar berikutnya,  September 2013.
“Aku rindu berkumpul bersama Sofi dan Ami, semua pada sibuk dengan rutinitas masing-masing. Sahabatku, semoga kalian dalam keadaan baik. Kapan kita hangout?”

Lembar berikutnya, Maret 2014.
“Sesuatu banget! Saat aku pulang, di kamarku sudah ada Sofi. Kedatangan Sofi menjadi penawar rinduku berkumpul sahabat lama, walau dia datang tanpa Ami. Kedatangan Sofi juga membawa aku kembali bernostalgia dengan masa lalu. Hal-hal konyol yang pernah kami lakukan bersama, semua kami ulas, hingga akhirnya pembicaraan kami terpahat pada satu nama, Candra. Ada luka baru menoreh hatiku, ketika Sofi bercerita tentang Candra yang sangat marah saat ia tahu aku telah memblokir semua akun media sosial miliknya. Aku kaget, ternyata cerita tentang Candra yang melanjutkan kuliah di Jogja beberapa tahun yang lalu hanya karangan Ami. Padahal selama ini ia kuliah dan indekos di Padang. Kok Ami bisa setega itu?”

Lembar berikutnya, Desember 2015.
“Setelah sekian lama aku pendam, ini kali pertama aku memberanikan diri bercerita jujur kepada Sofi tentang perasaanku, tentang Candra. Sofi kaget seperti orang melihat penampakan jin tomang mendengar aku bercerita. Ia sama sekali tidak menyangka, sebab di matanya aku dan Candra adalah musuh abadi, Tom and Jerry versi nyata begitu Sofi biasa menyebut kami. Aku juga heran, entah angin apa yang memantik keberanianku, hingga akhirnya aku buka suara pada Sofi, mungkin karena aku sudah tidak sanggup lagi menyimpan kegundahan itu.”    

Lembar berikutnya, April 2016
“Aku dan Sofi hangout! Kami berdua janjian di Plaza Andalas. Menjelang siang, Sofi mengajak aku ke arena pameran Padang Fair yang berlangsung di Gor H. Agus Salim. Aku penginnya naik angkot, tapi Sofi ngotot ingin naik taksi, panas alasannya, dasar manja! Hingga akhirnya aku mengalah. Kemudian Sofi mengeluarkan handphone dari dalam tasnya untuk memesan taksi online. Tidak menunggu lama, taksi pesanan kami datang, tapi aku melihat ada gelagat mencurigakan dari rona wajah Sofi. Ya ampuuun! Kecurigaanku benar, untung aku enggak jantungan. Surprise banget, walau tanganku sempat dingin karena grogi. Ternyata Sofi sudah merancang pertemuan aku dan Candra, dengan meminta Candra berpura-pura menjadi sopir taksi online. So sweet! Dan semua pun mencair siang itu, clear! Segala kegundahan aku kupas tuntas bersama Candra, aku berasa terlahir kembali sebagai manusia lama di bumi baru.”

Lembar berikutnya, Mei 2016.
“Candra mengajak aku traveling mengunjungi beberapa objek wisata di Sumbar. Senang banget. Aku suka foto kita yang lagi selfie di dasar air Lubuk Bonta, ekspesi wajah kamu lucu banget!”

Lembar berikutnya, Juni 2016.
“Dinner romantis yang kamu siapkan membuat aku merasa sebagai seorang Putri. Deburan ombak pantai Gandoriah meningkahi degup jantungku yang berdebar kencang. Cahaya lilin dan senandung lagu romantis membawaku terbang jauh ke dunia para pemimpi. Ya, aku seperti bermimpi saat kamu menarik kuntum bunga yang terselip di balik bomber warna abu yang kamu kenakan, kemudian memberikannya kepadaku. ‘Demi mata batin yang mengagum pada keindahan, aku mencintai kamu, Meta.’ Kata-kata itu melayang, tertancap indah, kemudian berdiam pada relung terdalam hatiku, membuat sekujur tubuhku terasa beku dalam suhu terendah. Malam yang indah.”

Lembar berikutnya,  Juli 2016
“Siang itu untuk pertama kalinya kamu bertamu ke rumahku setelah kita jadian. Kamu begitu akrab dengan Ibuku. Tak kusangka langkah awal itu menjadi akhir bagi kita, setelahnya tidak setitik pun restu tercurah.”   

Kemudian Meta menarik pena yang terselip di bagian tengah buku harian. Seperti menari, ujung jarinya menorehkan tinta pada lembaran kosong.

Lembaran Kosong pertama, Februari 2017
“Kisah kita hampir mirip dengan kisah pemilik nama pantai ini. Kakek yang menceritakannya padaku. Kala itu Anggun Nan Tongga berangkat ke rantau untuk mencari tiga orang pamannya yang tidak kunjung pulang. Anggun Nan Tongga pergi ke rantau meninggalkan kekasihnya yang bernama Puti Gandoriah. Saat berada di perantauan, seorang teman Anggun Nan Tongga berhianat dengan memberitahu Puti Gandoriah, bahwa Anggun Nan Tongga sudah meninggal di perantauan. Puti Gandoriah terpukul mendengar kabar itu. Dalam kesedihannya, Puti Gandoriah bersemadi di gunung Ledang. Seiring putaran waktu, penghianatan itu terbongkar dan Puti Gandoriah mendapati kekasihnya masih hidup, tapi kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama. Bersamaan dengan manisnya pertemuan, Puti Gandoriah dan Anggun Nan Tongga harus menerima pahitnya perpisahan, ternyata mereka saudara sepersusuan yang tidak boleh saling menikah.”

Lembar kosong berikutnya, Februari 2017
Andai suku[1] bisa dialih, tak kurisau membalut luka agar keping hati tetap utuh. Hari ini adalah hari bahagia kamu dan Ami. Maaf Candra, aku tidak bisa hadir, sungguhpun aku hadir sebagai saudara, sebagai adik, aku tak akan sanggup menyaksikan kamu bersanding dengan sahabatku sendiri, tak akan sanggup! Merindu pada hati yang salah itu menyakitkan, tapi aku ikhlas menikmati semua ini. Bukankah perih harus dinikmati? Agar lukanya terlukis sebagai mahakarya kehidupan yang terpahat indah pada dinding kalbu tanpa kebencian. Sungguh, tidak ada yang salah dengan takdir, walau kegilaan ini telah menenggelamkan aku pada lautan luka.”
Butiran bening jatuh bagai gerimis membasuh lembar terakhir. Perlahan Meta menutup buku harian, memejamkan mata, kemudian berdiri, lalu melemparkan buku harian itu sekuat tenaga ke tengah lautan. “Selamat malam kegelapan,” bisiknya sebelum berlalu.


Bandung,   22 Februari 2017

TM Hendry, s




[1] Dalam adat Minang tidak boleh menikah sesuku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar