Tiga bulan menapak
waktu sebagai pengangguran intelek, Damar mulai dihinggapi rasa jenuh. Untaian
detik setiap harinya ia habiskan di dalam kamar kos. Ke mana hendak pergi,
teman-teman pun sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Dari pagi hingga
petang menjelang, suasana di sekitar kos juga sepi, karena ditinggal
penghuninya yang tengah memburu pundi-pundi rupiah.
Menjelang tengah
hari, di halaman kos Damar melihat pak Saiman lagi membersihkan sampah
menggunakan sapu lidi. Keberadaan pak Saiman menjadi pelipur tersendiri bagi Damar
yang fakir teman ngobrol. Damar melangkah keluar mendekati pak Saiman.
“Lagi bersih-bersih
pak.”
“Eh, iya nak Damar.”
“Boleh saya bantu.”
“Jangan, nanti baju
nak Damar kotor.”
“Enggak apa-apa, pak.”
Walau dicegah, Damar
tetap membantu pak Saiman memindahkan sampah ke dalam tahang.
Damar merasa kagum melihat
semangat kerja pak Saiman. Di usianya yang sudah tidak muda lagi, pak Saiman
seperti tidak kenal lelah. Sebagai orang kepercayaan pemilik kos, pak Saiman
yang mengurus segala kebutuhan penghuni rumah kos yang terdiri dari sepuluh
kamar itu. Mulai dari membersihkan sampah, mengurus listrik, air, hingga
memperbaiki kerusakan bangunan. Satu pekerjaan berat lain yang harus dilakoni
pak Saiman adalah menghadapi penghuni kos dengan berbagai latar belakang dan
karakter. Keluhan, hardikan, bahkan cacian, namun semua itu tidak menyurutkan
semangatnya.
“Saya kan belum
dapat kerja, pak.”
“O iya, saya lupa.”
Pak Saiman menyunggingkan senyum. “Kalau nak Damar disuruh memilih, nak Damar
pilih mana, mencari kerja atau mencari duit?”
Damar kaget
mendengar pertanyaan pak Saiman.
“Mencari kerja,
pak,” balas Damar setelah beberapa saat menimbang.
“Alasannya?”
“Karena dengan
punya pekerjaan kita bisa menghasilkan duit, betul enggak pak?”
“Jawaban nak Damar
benar, tapi ….”
“Tapi apa, pak?”
“Bekerja memang
bisa menghasilkan duit, tapi ada lo kerja yang tidak menghasilkan duit.”
“Apa tu, pak?”
“Kerjanya tidur
terus, main terus.”
Damar dan pak
Saiman sama-sama tertawa. Walau candaan pak Saiman membuat Damar merasa tersindir,
namun ia bukanlah pribadi yang gampang tersinggung.
“Pada dasarnya kita
semua bekerja untuk menghasilkan duit. Rasanya hampir tidak ada orang yang mau bekerja
tanpa imbalan duit,“ lanjut pak Saiman. “Menurut bapak, lapangan kerja itu
banyak, bahkan bisa diciptakan sendiri. Yang susah itu mencari duit dengan
pekerjaan yang sesuai keinginan.”
Kali ini Damar
benar-benar tercengang mendengar kata-kata yang diucapkan pak Saiman.
“Dengan membantu
bapak membersihkan sampah-sampah ini, sebenarnya nak Damar sudah bekerja, tapi
tidak menghasilkan duit.” Pak Saiman kembali tertawa. “Kadang kita terjebak
sama ego kita sendiri. Banyak orang merasa gengsi melakukan sesuatu yang
menurut dia tidak sesuai dengan bidang ilmunya. Pengin berjualan, tapi malu
sama gelar di belakang nama. Banyak lo tetangga bapak di kampung yang seperti
itu. Ujung-ujungnya menganggur, minta duit sama orang tua.”
Damar terdiam. Apa
yang disampaikan pak Saiman membuat dia merasa baru terbangun dari mimpi
panjang. Setelah tiga bulan lebih menghabiskan waktu membagi-bagikan map berisi
surat lamaran ke beberapa perusahaan juga instansi, dengan harapan ada
panggilan, kemudian diterima kerja, namun sampai detik ini, hasilnya masih nol besar.
“Pak Saiman benar …
terima kasih, pak.”
“Terima kasih untuk
apa, nak Damar?”
“Untuk perbincangan
kita yang luar biasa.”
“Ooo … terima kasih
juga nak Damar sudah membantu bapak. Bapak mau memindahkan tahang sampah dulu
ke belakang, mari nak Damar!”
“Iya, pak.”
Sejurus kemudian
pak Saiman berlalu, terdoyong-doyong menarik tong berisi sampah.
***
Matahari semakin
meninggi. Damar merebahkan diri di dalam kamar kos. Ia mengingat-ingat esensi
perbincangannya dengan pak Saiman.
“Setelah selesai
kuliah, tidak seharusnya lagi aku membebani orang tua, aku harus mandiri.”
Damar bangkit, kemudian
meraih laptop dan berselancar di dunia maya.
“Wow! Lagi apa?”
sapa Kino yang tiba-tiba muncul di depan pintu.
Damar terperanjat.
“Kamu datang-datang
bikin kaget, untung aku enggak jantungan.”
“Serius banget, lagi
baca apaan sih?”
“Aku lagi mencari
artikel teknik berwirausaha.”
“Kamu yakin mau
berwirausaha?”
“Yakin dong. Aku merasa
tidak produktif bila begini terus. Apalagi angka wirausaha di Indonesia masih
sangat rendah, hanya 1,6 persen dari jumlah penduduk. Coba bandingkan dengan negara
lain. Di Amerika mencapai 11,5 persen, Singapura 7,2 persen, Jepang 11 persen,
Cina 10 persen, tetangga terdekat kita Malaysia 3 persen. Bila aku
berwirausaha, setidaknya berkurang satu orang pengangguran di Indonesia.”
Kino tertawa
mendengar uraian sahabatnya. “Andai semua orang berpemikiran seperti kamu,
tidak hanya angka wirausaha yang bakal naik, tapi angka pengangguran juga akan
berkurang drastis. SALUT!”
“Jadi raja di pulau
kecil, jauh lebih terhormat ketimbang menjadi panglima di pulau besar.”
“Maksud kamu?”
“Dengan memiliki
usaha sendiri, tidak ada atasan yang bakal mengatur aku, tidak ada atasan yang
bakal memarahi aku.”
“Wew, keren!”
Itu tiga tahun yang
lalu, sekarang Damar sudah menjadi pengusaha sukses. Damar berhasil
mengenyampingkan gengsinya dan tidak malu berjualan camilan kreasinya sendiri
menggunakan gerobak kecil dengan modal awal lima ratus ribu, itu pun dapat
minjam dari Kino. Tidak peduli cemoohan orang, ia abaikan gelar akademis yang
melekat pada namanya. Saat ini stan camilan milik Damar tersebar seantero kota,
di mall, di pasar-pasar. Dengan mempekerjakan puluhan tenaga kerja, penghasilan
setiap bulan yang didapat Damar jumlahnya SUPER WOW!
Selesai.
-------------------------
Ada teman saya yang
berkomentar, katanya cerita di atas seperti iklan layanan masyarakat dari Kemenaker.
Saya pun tertawa, dan kami juga sempat berdiskusi singkat mengenai esensi
cerita di atas. Berawal dari pertanyaan yang disodorkan kepada saya.
“Menurut kamu, apa
yang menyebabkan tingginya angka pengangguran?”
Jawaban:
-
Sifat
malas dan tidak mampu memanfaatkan peluang yang ada.
-
Gengsi
kelewat batas, hingga malu memulai dari hal paling kecil sebelum melangkah ke
yang lebih besar.
-
Tidak
adanya lapangan kerja yang sesuai keinginan.
Semoga ada manfaat yang bisa dipetik
dari cerita di atas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar