Image |
Saya berdecak kagum
ketika menyaksikan berita televisi. Pembaca berita menyampaikan kabar bahwa di
Belanda beberapa penjara ditutup karena kekurangan penjahat. Saat tengah
berfokus menyimak berita, tiba-tiba laki-laki paruh baya yang duduk di sebelah saya
menyeletuk.
“Kamu tahu kenapa
penjara di Belanda kekurangan penjahat?”
“Mungkin di sana
banyak orang baik dan waras,” balas saya spontan. Sengaja saya tambahkan kata “mungkin”
bukan karena saya ragu atas jawaban yang saya ucapkan, tapi itu bagian dari bumbu
agar saya tidak terkesan sok benar.
“Jadi di negara kita
penyebab penjara tumpah ruah karena banyak orang jahat dan orang tidak waras?”
“Pendapat saya begitu.
Mungkin bapak punya pendapat lain?”
“Jawabannya kesejahteraan.
Angka kejahatan bisa ditekan kalau masyarakat sejahtera.”
“Lima puluh persen
saya sependapat sama bapak.”
“Kenapa cuma lima
puluh persen?”
“Menurut saya yang lima
puluh persen lagi ada pada akhlak yang baik.”
“Sok tahu kamu!”
“Bapak boleh saja
mengatakan saya sok tahu, tapi saya punya alasan logis.”
Lelaki paruh baya itu
senyum kering menatap saya seperti mengejek. “Apa alasan logis kamu?” tanyanya.
“Sejahtera,
kesejahteraan berarti keadaan sejahtera; keamanan, keselamatan, ketentraman.
Yang bapak sampaikan itu tujuan, sementara bapak melupakan proses menuju tujuan
tersebut. Kita bisa memperbaiki akhlak (budi pekerti) tanpa harus sejahtera
lebih dahulu, tetapi kita tidak akan bisa sejahtera tanpa membenahi akhlak.
Jika yang bapak maksud sejahtera secara ekonomi, para pejabat kita kurang apa?
Kenyataannya masih banyak oknum pejabat kita yang korupsi.”
Laki-laki paruh baya
mangguk-mangguk, kemudian bangkit dari tempat duduk.
“Cara berpikir kamu
keren! Saya pamit dulu,” ucapnya sambil menepuk-nepuk bahu saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar