Image google |
“Bang, tadi sore tetangga kita beli tv baru, kita kapan ganti tv?”
tanya Jubaidah pada suaminya sembari mengaduk secangkir kopi.
Julkipli diam seribu basa pura-pura tidak mendengar,
ia terus membuka lembaran koran terbitan sepuluh tahun lalu di atas sofa usang
rumah kontrakan sepetak yang sudah dua tahun mereka tempati.
“Baaaaang!”
“Apaan sih?”
“Ih, abang gitu ya, tadi aku nanya lo!”
“Tv kita kan masih bagus.”
“Bagus apanya, layar penuh laler begitu dibilang
bagus, mana masih hitam putih pula.”
“Buat apa ganti tv? Lagian diganti juga namanya enggak
bakal berubah, tetap aja tipi.”
“Tetangga sebelah sudah punya tv baru, Bang! Masa kita
masih pakai tv lama. Abang udah enggak sayang ya sama Idah?”
“Abang sayang sama Idah, sumpah mati deh sayaaaaang
banget. Sayang sama Idah, enggak sayang sama TV baru!”
Julkipli tercenung, dia sama sekali tidak menyalahkan
istrinya yang celamitan, tapi dia
lebih memilih menyalahkan tetangga, “beli
tv baru kok pamer-pamer.” Dongkol, Julkipli bangkit kemudian melangkah
menuju lemari kain doyong yang terpajang di pojok ruangan. Dari dalam lemari
tanpa kaca itu Julkipli meraih celengan ayam. “Kita buka celengan,” ucap
Julkipli mantap yang disambut senyum semringah Jubaidah. Julkipli paling tidak bisa
menolak permintaan istrinya, apalagi dalam permintaan tersebut melibatkan kata sayang.
Satu hal yang paling ia hindari, jangan sampai terucap ultimatum perceraian. “Bukankah
Tuhan membenci perceraian?” Sebuah kalimat yang menjadi motivasi bagi Julkipli
untuk memenuhi semua permintaan istrinya, agar tak terucap kata cerai. Keliru?
Jelas sangat keliru, tapi cinta yang tumbuh di relung hati Julkipli membuat dia
mati akal menghadapi tabiat istrinya yang celamitan
bercampur iri.
Tanpa komando Julkiplli memecahkan celengan ayam. Seabrek
receh pecahan dua ribu, seribu, dan lima ratus rupiah bertebaran di lantai.
Pasangan eksentrik itu mengumpulkan satu per satu uang dari tabungan yang sudah
setahun lebih Julkipli isi dengan teratur setiap hari, hasil dari mengojek.
Tadinya Julkipli memproyeksikan tabungan tersebut untuk mengontrak rumah yang
lebih besar dari kontrakannya sekarang, namun apa daya, rencana tinggal
rencana, rengek sang istri minta tv baru jauh lebih dasyat dibanding rencana
tersebut.
“Tiga ratus ribu,” ucap Jubaidah setelah menghitung
isi celengan.
“Mana cukup buat beli tv baru,” gumam Julkipli. “Kita
beli tv bekas aja ya?”
“Enggak mau!”
Dengan terpaksa, demi dapat tv baru agar sang istri
tercinta tak bermuram durja, akhirnya Julkipli meminjam uang dari rekan
seprofesinya bernama Solihin. Dan tv baru pun nangkring di kontrakan sepetak,
Jubaidah girang bukan kepalang.
***
Tiga
minggu kemudian.
Kala menyibak gorden, Jubaidah melihat dua orang kurir
menggotong lemari baru, dan masuk ke dalam rumah yang bersebelahan dengan rumah
kontrakannya. Radar celamitan terkontaminasi
iri pun aktif berbunyi dilengkapi getar. Jubaidah benar-benar tidak sabar
menunggu suaminya pulang, dilihatnya jam tua yang tersemat pada dinding tembok
kusam, pukul empat sore, jika tak ada aral gendala, satu jam lagi suaminya
pulang. Jubaidah merintang waktu dengan menonton televisi.
Tepat pukul lima, terdengar suara motor berhenti di
depan kontrakan, segera Jubaidah berlari membukakan pintu.
“Abang!” sapa Jubaidah manja. “Abang mau Idah buatkan
kopi hitam apa kopi susu?”
Julkipli menyunggingkan senyum simpul. “Air putih
aja,” balasnya singkat.
Usai menyuguhkan air putih, Jubaidah senyam-senyum
menatap ke arah suaminya. Tentu saja Julkipli sudah terbiasa membaca
tanda-tanda itu. “Pasti ada maunya,”
batin Julkipli.
“Bang, tahu enggak?”
“Enggak tahu dan enggak mau tahu,” balas Julkipli
cengengesan.
“Ih, abang jahat ih!” Jubaidah merengut.
“Apa, cayang?”
“Itu bang … tadi tetangga kita beli lemari baru.”
Tidak ada yang keliru dari isyarat yang dirasa
Julkipli, dugaannya seratus persen benar. Sore itu Jubaidah minta dibelikan
lemari baru. Tabungan sudah tidak ada, uang di dompet hanya cukup buat beli
ikan asin untuk menu makan esok hari. Julkipli berpikir keras, pinjam duit lagi
sama Solihin rasanya tidak enak hati, sebab hutang tiga minggu yang lalu buat
tambah beli tv belum sepenuhnya lunas. Akhirnya Julkipli menggadaikan motor
agar sang istri tercinta tak bermuram durja.
Uang hasil gadai motor dipergunakan Julkipli untuk
membeli lemari baru, sisanya ia belikan terpal setinggi dua meter. Terpal
tersebut digunakan Julkipli membatas halaman rumahnya dengan rumah tetangga,
demi satu tujuan, agar sang istri tidak melihat jika nanti tetangga membeli
barang baru.
Tanpa motor Julkipli lontang-lantung menjadi ojekers
tembak. Jika ada teman satu profesinya yang sakit, dia yang menggantikan. Sebagai
sahabat terbaik, Solihin merasa iba melihat Julkipli, atas dasar itu dengan
senang hati Solihin meminjamkan uang kepada Julkipli untuk menebus motornya
yang tergadai.
***
Satu
bulan kemudian.
Siang benderang bermandikan cahaya mentari, langit
cerah tanpa awan. Sambil bernyanyi kecil Jubaidah membersihkan lemari dan tv
menggunakan kemoceng. Tiba-tiba dari luar terdengar suara ketukan pintu.
“Permisi!”
Tergopoh Jubaidah menghampiri pintu masuk. “Cari siapa
ya?” tanya Jubaidah pada pria muda yang berdiri di hadapannya.
“Maaf, saya mau nanya alamat. Gang soang nomor lima di
sini bukan, Bu?” balas Pria tersebut.
“Ooo, emang mas mau mencari siapa?”
“Saya mau mengantarkan kulkas, nama pemesannya bu
Korimah.”
“Rumah sebelah mas!” tutup Jubaidah dengan mimik wajah
kesal.
Sejurus kemudian pria tersebut berlalu.
Tidak lama berselang Julkipli datang menggunakan
sepeda motor yang biasa ia pakai buat mengojek. Seperti siang-siang sebelumnya
Julkipli pulang untuk menikmati menu masakan sang istri.
“Hai yayang!” sapa Julkipli mesra.
“Hai,” balas Jubaidah singkat padat dan ketus.
“Kamu sakit?”
“Enggak!” suara balasan terdengar semakin ketus.
“Terus, kenapa cemberut begitu, nanti hilang lo
cantiknya.”
“Lagi malas dirayu!”
Kemudian Julkipli menoleh ke belakang, tampak empat
orang pria menggotong kulkas dari atas mobil bak terbuka. Spontan pria berambut
keriting itu tertunduk lesu. “Pasti itu
pangkal balanya,” pikir Julkipli. Dan terpal pun kehilangan fungsinya.
“Bang, kita mesti punya kulkas, biar kalau ada sisa
sayur dan ikan mentah enggak terbuang mubazir.”
Seeeer! Darah yang mengalir di tubuh Julkipli terasa dingin,
ia kehabisan upaya untuk memenuhi segala permintaan istrinya. TV, lemari, kipas
angin, dan barang-barang lainnya, yang terbaru kulkas.
“Aku sudah enggak punya uang,” balas Julkipli ringkih.
“Katanya sayang, katanya cinta …”
“Tanpa kulkas kita masih bisa hidup kan?”
“Aku enggak mau tahu, kalau abang enggak membelikan
aku kulkas, lebih baik aku pergi dari rumah ini, sumpek!”
“Jangan gitu dong. Abang janji, nanti kalau abang
sudah ada uang abang belikan ya.”
Setelah itu Jubaidah berlari masuk rumah dan mengeluarkan
semua pakaiannya dari lemari.
“Idah, tolonglah abang sekali ini saja.” Julkipli
berusaha membujuk istrinya, tapi Jubaidah cuek bebek sambil terus mengemas
pakaian ke dalam tas.
“Baiklah, besok kita beli kulkas.”
Jubaidah mendadak berseri-seri usai mendengar kalimat
itu.
“Benaran, besok kita beli kulkas?”
“Iya.”
***
“Mana motor kamu?” tanya Solihin kepada Julkipli yang
datang ke pangkalan berjalan kaki dengan muka ditekuk mirip unta lapar.
“Aku jual,” balas Julkipli singkat.
“Gila! Emang kamu udah punya pekerjaan lain?”
“Belum.”
“Terus kenapa dijual?”
“Istri aku minta beli kulkas, aku udah enggak punya
uang, ya terpaksa motor itu aku jual.”
“Tambah gila!”
“Mungkin aku memang sudah gila.”
“Pli, enggak seharusnya kamu mengikuti semua keinginan
istri kamu, apalagi sampai menjual motor segala. Kamu enggak mikir apa? Tanpa
motor itu kamu jadi menganggur.”
“Ini cara aku mempertahankan rumah tangga.”
“Kelewat gila!” Nada bicara Solihin meninggi, ia kesal
melihat keputusan sahabatnya. “Sebagai kepala keluarga kamu tu harus bisa
menuntun istri, bukan malah mengikuti semua kehendaknya.”
“Tapi aku sayang sama dia. Jika aku tidak
membelikannya kulkas baru, ia minta cerai.”
“Pelaksanaan kata sayang itu bukan dengan memberikan
semua permintaan orang yang disayang, tapi dengan menuntunnya menjadi lebih
baik. Tidak masalah memenuhi permintaan, tapi sewajarnya. Cinta boleh, sayang
boleh, namun logika harus tetap jalan, kawan! Menurut aku, kebersamaan dalam
bentuk apa pun harus membawa pengaruh positif bagi pelakunya. Jika kebersamaan
hanya mendatangkan hal negatif, bila rentang waktu tidak mampu mengubah yang
buruk menjadi baik dan yang baik menjadi lebih baik, sudah sepatutnya
kebersamaan tersebut diakhiri.”
Julkipli termangu mendengar kata-kata Solihin.
“Baiklah, setelah ini aku akan meminta istriku mengubah tabiat buruknya. Jika
tidak berubah juga, perceraian akan menjadi pilihan terakhir.”
***
“Aku ini istri kamu, Bang. Terus aku mau minta sama
siapa lagi? Abang enggak malu, kalau aku minta sama orang lain? Abang mau kalau
aku minta beliin barang-barang sama mantan aku?”
“Kalau kamu tidak bisa mengubah tabiat jelek kamu itu,
selamanya kita akan begini terus!”
“Apa yang harus aku ubah, Bang? Apa? Wajar dong aku
minta sama abang! Abang kan suami aku! Kalau abang sudah tidak sanggup lagi
hidup bersama aku, sudah tidak cinta lagi, sudah tidak sayang lagi, ceraikan
saja aku! Ceraikan saja!”
Malam itu terjadi pertengkaran hebat, suatu hal yang
tidak biasa terjadi, sebab selama ini Julkipli selalu mengalah dan memenuhi segala
permintaan istrinya.
“Ya sudah, kita CERAI!” tutup Julkipli sambil
membanting pintu dan berlalu di kegelapan malam.
***
Siang itu Julkipli termangu di pangkalan ojek. Sambil
merebahkan diri di atas balai anginan yang terbuat dari bambu, matanya
menerawang jauh ke angkasa berpayung awan mendung, seperti halnya kejadian demi
kejadian yang terpahat pada jalan hidupnya,
awan hitam pekat menggantung menyesakkan ruang hati. Istri pergi dari
rumah, motor pun sudah dijual.
“Larut dalam masalah bukan pilihan, kamu harus segera move on.” Suara Solihin membuyarkan
lamunan Julkipli.
“Move
on itu apaan?”
tanya Julkipli polos.
“Aku juga enggak tahu sih artinya, tapi aku sering
mendengar kata itu.”
“Nah loh.”
“Maksud aku, untuk bisa bangkit lagi kamu harus
mengenyampingkan dulu semua masalah kamu, utamanya yang berkaitan sama
Jubaidah. Masih banyak kok perempuan yang bisa menerima kamu apa adanya.”
“Tapi…”
“Tapi apa? Masih sayang, masih cinta? Katanya kamu
sudah cerai.”
“Mungkin enggak ya Jubaidah bisa berubah?”
“Tu kan, kamu masih mengharapkan Jubaidah kembali? Kemungkinan
seseorang berubah itu ada, namun kemungkinan sebaliknya juga sama mungkinnya.
Saran aku sebaiknya kamu memulai lembaran baru dan jadikan semua cerita di masa
lalumu itu sebagai pelajaran, aku akan bantu kamu bangkit lagi. Besok aku mau
mengkredit motor baru, daripada kamu lontang-lantung enggak jelas tanpa kerjaan
tetap, kamu pakai motor lama aku, aku ngojek pakai motor baru. Enggak usah
setor, isi bensin aja, nanti kalau kamu sudah punya cukup simpanan buat uang
mungka motor, kamu balikin lagi motor itu ke aku.”
Kembali Solihin menjadi penyelemat bagi Julkipli. Sahabat
terbaik hadir saat dibutuhkan, bukan ketika ia lagi butuh.
“Aku bersyukur punya sahabat seperti kamu, terima
kasih yang terhormat tuan Solihin,” ucap Julkipli berkaca-kaca.
Dari sana Julkipli bertekad bangkit dan siap mengikuti
saran Solihin untuk mengenyampingkan semua cerita kelam hidupnya, sambil terus
berjuang menata masa yang akan datang menjadi lebih baik.
***
Julkipli berlari sekuat tenaga ketika melihat sosok
tak asing sedang menaiki angkutan pedesaan. Sosok perempuan yang pernah
menyemai mawar terindah di hati Julkipli, walau pada akhirnya dari tangkai
mawar nan indah itu tumbuh duri-duri tajam menoreh luka, namun keindahan
tetaplah keindahan. Hingga benteng pertahanan batin Julkipli pun rubuh dan
hancur berkeping-keping. Upaya move on
yang hampir sukses berada di gerbang kegagalan. Perjumpaan dengan Jubaidah
bagai meriam sundut merubuhkan ketangguhan prinsip dan segala daya.
“Jubaidaaaaaaaaaaaah!”
“Julkipliiiiiiiiiiiiiii!”
Jubaidah bergegas turun dari angkutan pedesaan,
setengah berlari menghampiri sosok pangeran yang pernah mewarnai hari-harinya. Jauh
di relung hati terdalam ia juga sangat mencintai Julkipli, bahkan melebihi rasa
cinta Julkipli kepadanya. Betapa Jubaidah merasa rapuh menjalani hidup tanpa
kehadiran Julkipli selama beberapa bulan perpisahan mereka.
“Kenapa dirimu begitu tega meninggalkan kenangan,
harapan, dan semua milik abang? Ketahuilah, yayang Idah begitu berarti bagi
abang.”
“Maafkan Idah … kalau abang Ipli masih mau menerima
cinta Idah, kita rujuk, Idah janji enggak bakalan celamitan dan iri lagi sama tetangga.”
“Sungguh dirimu telah berubah sayangku, oh kamu
semakin cantik bila begitu.”
“Ih, abang Ipli bisa aja ngerayunya. Kita tinggal di
rumah kontrakan yang dulu lagi?”
“Iya! Sekarang aman, tetangga lama kita sudah pindah.”
“Haaaa, mereka pindah kontrakan?”
“Bukan, mereka sudah beli rumah baru.”
“Haaa, KITA KAPAN BELI RUMAH?”
Sejurus kemudian Julkipli kejang-kejang dan pingsan
selama enam bulan.
Bandung, 03 Mei 2016
TM Hendry, s
Tidak ada komentar:
Posting Komentar