Kakek
tua dengan jubah kusam yang dikenakannya melangkah tergopoh di sela gerimis
yang turun menyapa bumi. Penduduk desa Cemewei merasa heran dan bertanya-tanya,
“siapakah gerangan kakek tua itu?”
Andri
dan pakle Veyz yang tengah duduk santai di teras rumah, saling bertukar pandang
ketika menyaksikan kakek tua melintas di jalan kecil yang membentang panjang
berliku.
“Le,
coba kamu lihat kakek tua itu!” bisik pakle Veyz.
“Iya,
Pakle. Sepertinya beliau orang baru,” balas Andri.
“Kita
samper yuk!”
“Hayuk!”
Sejurus
kemudian Andri dan pakle Veyz bergegas mendekati kakek tua.
“Hai,
Kek! Apa kiranya yang dirimu cari, sementara rintik gerimis hampir membasuh
separuh jubahmu?” tanya pakle Veyz bak penyair kehilangan panggung.
Usai
batuk tujuh puluh kali (Buset! Panjang
banget batuknya, wahahaha) kakek tua berkata penuh wibawa.
“Uhuuuk! Tujuan
saya datang ke desa ini untuk mencari orang baik yang berhati tulus suci dan
mulia, yang bersedia menerima warisan tak ternilai dari leluhur.”
“Mohon
maaf, kami tidak mengerti maksud kakek,” sambung Andri.
Belum
sempat kakek tua menjawab pertanyaan Andri, pakle Veyz menimpali.
“Sebaiknya
kita ngobrol di sana saja, Kek.
Tampaknya hujan semakin deras,” ucap pakle Veyz sambil menunjuk ke arah teras
rumah.
“Terima
kasih. Saya senang, akhirnya siang ini saya menemukan orang baik berhati tulus serta
mulia, seeerta muuliaaa! Sungguh,
orang seperti kalianlah yang saya cari.”
Tiga
orang umat manusia itu melangkah menuju teras rumah di sela gerimis menjelang
hujan.
Pakle
Veyz mempersilakan kakek tua duduk di atas kursi goyang, sedangkan Andri dan
pakle Veyz sendiri duduk di atas kursi rotan yang bisa juga disebut kursi
goyang, karena kursi yang mereka tempati memang sudah reyot.
“Kakek
mau minum apa?” tanya pakle Veyz.
“Ada
minuman apa saja, cu?” balas kakek tua.
“Ice blend, Ice drink, Milk shake,
Milk tea, Fruit tea, Flavoured tea, Smoothie, Latte, Macchiato, Mocktail,”
sambung Andri sambil melipat dan membentangkan jari tangannya.
“Waduh!
Yang disebutkan itu minuman masa lalu semua, cu. Dalam cerita ini kan kita
hidup di masa depan. Kalau tidak percaya, sila saja tanya sama pengarang yang
menulis cerita ini, hehehehe ukhuuuk!”
Andri
dan pakle Veyz menyunggingkan senyum. Setengah tertawa pakle Veyz kembali
bertanya.
“Jadi
kakek mau minum apa?”
“Air
putih saja,” balas kakek tua mantap.
Setelah
itu Andri beranjak dari tempat duduknya.
“Mau
ke mana, cu?” tanya kakek tua.
“Mau
mengambil air putih ke belakang.”
“Kalau
ada air panas ya, cu!”
“Iya,
kek.”
“Kalau
ada gula, tambahkan gula sedikit, kalau ada kopi, tambahkan kopi sedikit. Kalau
tidak ada kopi, teh juga enggak apa-apa,” ucap kakek tua sembari nyengir.
“Huuuuft, bilang aja minta dibikinin kopi!”
gumam Andri jengkel.
Usai
Andri membuatkan kopi untuk kakek tua, tiga umat manusia itu kembali bercerita
panjang lebar. Di sana kakek tua memperkenalkan dirinya kepada Andri dan pakle
Veyz.
“Terima
kasih atas kebaikan kalian yang sudah mengizinkan saya berteduh dari derasnya
hujan yang turun membasuh bumi. Dan ... disuguhin
kopi pula, hehehehe.”
“Itu
sudah menjadi kewajiban kami dalam memuliakan tamu, kek,” timpal pakle Veyz.
“Sebenarnya
kakek ini siapa?” tanya Andri sambil membenahi posisi duduknya di atas kursi
rotan reyot.
“Nama
saya Nahu.”
“Apakah
saya boleh tahu nama lengkap kakek?”
“Lengkapnya
... Nahu tahu aja, apa nahu tahu banget?”
(wahahahaha)
Pakle
Veyz dan Andri melongo sambil menggaruk-garuk kepala, kemudian menggumam.
“Ternyata kakek tua ini pernah
labil dan sampai sekarang masih ... alay!”
“Seperti
yang sudah saya sampaikan tadi, saya datang ke desa ini untuk mencari orang
baik berhati tulus serta mulia, seeerta
muuliaaa! Dan orang yang saya maksud itu adalah kalian!” lanjut kakek tua
yang kembali tampak berwibawa. “Saya akan memberitahu kalian tentang harta
warisan leluhur yang tertanam pada tanah merah yang berada di tepi sungai sana.
Saya berharap kalian sudi menjemput dan menerima warisan itu.”
“Apakah
kami boleh tahu, warisan yang kakek maksud itu berbentuk apa?” tanya pakle Veyz
penasaran.
“Ada
rahasia di balik rahasia. Kalian akan segera mengetahuinya, bila besok pagi
kalian datang ke tepi sungai sambil membawa cangkul, dan ikuti petunjuk yang
akan saya berikan setelah ini.”
Andri
menyeringai. “Beritahulah kami bocorannya, Kek! Misterius banget sih, ga funky ah!”
Kakek tua senyum simpul menyaksikan ekspresi
wajah Andri.
“Baiklah,
saya akan memberitahu kalian bocoran tentang harta warisan itu, tapi tidak
semuanya.”
“Yo wes, rapopo
enggak semuanya juga, daripada enggak sama sekali,” gerutu pakle Veyz.
Dan
kakek tua pun mulai bercerita.
“Dahulu
kala di desa Cemewei ini ada seorang pejuang yang gagah perkasa, namanya embah Kirun.
Dia yang memimpin masyarakat sini melawan para penjajah. Tapi ...
perjuangannnya terlupakan begitu saja seiring berputarnya waktu. Yang menarik
dari Embah Kirun ... dia selalu membawa kotak seukuran dua kali telapak tangan
orang dewasa. Tidak ada yang tahu apa isi kotak itu. Akan tetapi penjajah
begitu sangat berambisi merebut kotak misterius milik embah Kirun. Pada suatu
pertempuran, embah Kirun meregang nyawa hingga meninggal tertikam senjata
musuh. Walaupun penjajah berhasil menghentikan perjuangan embah Kirun, tetapi
semangatnya masih tetap berkobar hingga sekarang. Dan beruntung, kala itu penjajah
tidak berhasil mendapatkan kotak milik embah Kirun. Sebab, sebelum pecahnya
pertempuran yang merenggut nyawanya itu, embah Kirun telah mengubur kotak
miliknya di tanah merah tepi sungai, sesuai amanat yang ia sampaikan kepada
kakek saya yang merupakan teman seperjuangannya. Dari kakek, saya mengetahui
cerita tentang embah Kirun. Sebelum meninggal, kakek saya berpesan. ‘Temui
orang baik yang ada di desa Cemewei dan beritahu tentang lokasi tersimpannya
warisan tak ternilai itu.’ Dan ini merupakan amanat, saya berkewajiban
menyampaikannya kepada kalian.”
Pakle
Veyz dan Andri mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar cerita kakek tua.
”Baiklah,
kami bersedia menerima warisan tak ternilai itu. Tolong beritahu kami, langkah
apa yang harus kami lakukan,” ucap pakle Veyz.
“Besok sebelum pukul enam pagi, kalian
berangkat menuju tanah merah yang ada di tepi sungai, di sana tumbuh pohon yang
bunganya tidak layu walau musim berganti, akarnya kokoh mencakar bumi, pucuknya
mekar tengadah langit. Tiga jengkal dari pohon itu, mengarah ke sungai, di sana
kotak misterius milik embah Kirun terkubur. Ingat pesan saya, kalian harus
berada di sana sebelum jam enam pagi, atau kalian tidak akan menemukan apa-apa.
Kenapa? Karena untuk menang dan mendapatkan yang terbaik dibutuhkan
kedisiplinan yang tinggi. Terima kasih atas waktu dan jamuan yang sudah kalian
berikan, saya pamit mundur.”
Setelah
itu kakek tua beranjak meninggalkan Andri dan pakle Veyz yang tampak termangu
di teras rumah.
***
Pukul setengah enam pagi, Andri dan pakle
Veyz bergegas menuju tanah merah tepi sungai, sambil membawa cangkul. Tepat
pukul enam, paman dan keponakan itu mulai melakukan penggalian sesuai dengan
arahan yang sudah diberikan kakek tua, sehari sebelumnya.
Pada
kedalaman empat puluh sentimeter, cangkul yang diayunkan pakle Veyz membentur
sebuah ruyung,[1]
benturan itu membuat tangkai cangkul pakle Veyz patah. Dengan semangat pantang
menyerah, pakle Veyz dibantu Andri berusaha mengorek tanah sekitar ruyung
menggunakan tangan. Hingga akhirnya tampak jelas sebuah kotak seukuran dua kali
telapak tangan orang dewasa.
“Pakle,
kita berhasil menemukan kotak milik embah Kirun!” seru Andri penuh kegembiraan.
Perlahan
Andri dan pakle Veyz mengangkat kotak dari lubang galian. Setelah kotak itu
mereka bersihkan, di atas tanah merah tepi sungai, Andri dan pakle Veyz membuka
penutup kotak dengan sangat hati-hati.
Di
dalam kotak terdapat selembar kertas yang tampak mulai kusam di makan zaman,
namun tinta emas yang tertoreh di atasnya masih bisa terbaca dengan jelas. Di
sebelahnya ada bendera merah putih yang dilipat rapi tanpa noda.
Bersamaan,
Andri dan pakle Veyz membuka selembar kertas yang ditulis menggunakan tinta
emas, kemudian membacanya.
Tanah Air Mata
Tanah
airmata tanah tumpah darahku
Mata
air air mata kami
Airmata
tanah air kami
Di
sinilah kami berdiri
Menyanyikan
airmata kami
Di
balik gembur subur tanahmu
Kami
simpan perih kami
Di
balik etalase gedung-gedungmu
Kami
coba sembunyikan derita kami
Kami
coba simpan nestapa kami
Kami
coba kuburkan duka lara
Tapi
perih tak bisa sembunyi
Ia
merebak ke mana-mana
Bumi
memang tak sebatas pandang
Dan
udara luas menunggu
Namun
kalian takkan bisa menyingkir
Ke
manapun melangkah
Kalian
pijak air mata kami
Ke
manapun terbang
Kalian
kan hinggap di air mata kami
Ke
manapun berlayar
Kalian
arungi air mata kami
Kalian
sudah terkepung
Takkan
bisa mengelak
Takkan
bisa ke mana pergi
Menyerahlah
pada kedalaman airmata kami[2]
Andri
dan pakle Veyz menitikkan air mata usai membaca puisi yang ditulis menggunakan
tinta emas pada selembar kertas kusam.
Perlahan
Andri mengeluarkan kain bendera bewarna merah putih yang tampak masih bersih
tanpa noda, kemudian menyematkannya pada sebilah bambu, lalu ditancapkan pada
tanah merah tempat ia berdiri. Dengan sikap tegap, Andri dan pakle Veyz
mengangkat tangannya, dan memberi hormat pada sang merah putih.
Dari
arah belakang mereka, terdengar suara teriakan kakek tua berjubah lusuh.
“MERDEKA!
MERDEKA! MERDEKA! Pusaka tinggi yang patut kita syukuri itu adalah warisan dari
para pahlawan dalam bentuk kemerdekaan yang kita nikmati saat ini. Mereka rela
mengorbankan jiwa raga dan segenap tumpah darah, bukan semata untuk mereka,
tapi untuk kita sebagai anak cucunya. Untuk bangsa ini! Mari kita sama-sama
membangun bangsa dengan karya, dengan semangat juang yang terus membara,
bahumembahu berbuat untuk negeri.
Selamat
ulang tahun bangsaku, selamat ulang tahun tanah airku! Jayalah selalu. Sekali
merdeka tetap merdeka!”
Dirgahayu
Indonesia!
Bandung,
17 Agustus 2015
TM
Hendry, s
Tidak ada komentar:
Posting Komentar