Image google |
Pukul satu siang, mak Ratna leyeh-leyeh di ruang
tengah. Menonton acara gosip artis, ditemani setoples camilan kacang-kacangan,
mulai dari kacang tanah, kacang kedelai, sampai kacang panjang.
“Mom,
pakle mana?”
sapa Andri.
“Mam
mom mam mom, mak ya mak aja, le!” balas mak Ratna ketus.
“Biar keren, mak. British
british!”
“Keren sih
keren, tapi sesuaikan sama tampang dong! Panggilan Maman itu punya orang kaya.”
“Mom,
mak, bukan Maman.
Waduh! Pakle mana mak?”
“Katanya tadi ke warung depan. Kamu jadi beli motor
baru?”
“Jadi, kan sekarang mau berangkat ke dealer sama
pakle.”
“Bagus. Ingat! Kamu punya utang sama mak tiga ratus
ribu, katanya mau diganti hari ini.”
“O
iya, aku lupa, nanti
siang ya, mak. Aku mau menyusul pakle Veyz dulu ke warung depan.”
Sejurus kemudian Andri bangkit dan bergegas keluar
rumah.
Di tengah jalan menuju warung, Andri berjumpa pakle
Veyz.
“Mau ke mana kamu, le?”
tanya pakle Veyz.
“Mau nyari
pakle. Kita jadi ke dealer motor kan?”
“Jadi dong.”
“O
iya, Pakle. Anu …”
“Opo
toh, le? Ra jelas kamu itu.”
“Anu, pakle.”
“Opoooo?”
“Katanya pakle mau minjamin
aku duit tiga ratus ribu, mana?”
“O
iya, pakle lupa.
Nanti siang ya, le.”
Tiba di rumah, Andri langsung masuk kamar untuk ganti baju. Sementara pakle Veyz bergegas mendekati mak Ratna yang masih anteng menonton acara gosip.
“Mbakyu, katanya mbakyu mau minjamin aku uang tiga
ratus ribu, mana?” ucap pakle Veyz.
“Sebentar,” balas mak Ratna yang kemudian bangkit
menuju kamarnya. Hanya sebentar, mak Ratna kembali, sambil menyodorkan uang
pecahan seratus ribu sebanyak tiga lembar kepada pakle Veyz.
“Terima kasih mbakyu.”
Setelah
mendapat pinjaman uang dari mak Ratna, pakle Veyz melangkah ke kamar Andri.
“Nih
le, janji pakle
tadi,” ucap pakle Veyz sambil menyodorkan lembaran uang senilai tiga ratus
ribu.
“Terima kasih, pakle.”
“Hayuk berangkat!”
“Yuk!
Kala pakle Veyz melangkah keluar, Andri mendekat kepada mak Ratna sambil berkata.
“Mak, aku berangkat ke dealer dulu ya. Ini uang yang
aku janjiin tadi. Tiga ratus ribu.
Udah lunas utang aku ya.”
“Nah, begitu dong, tepat janji. Emang kamu mau beli
motor apa, le?”
“Yang merek Mia, mak.”
“Ooo, mak nitip
boleh enggak?”
“Nitip opo, mak?”
“Biar nanti mak bisa pinjam buat ke pasar, kamu beli
motornya … mhmhm yang lampu seinnya
bisa menyala sendiri pas mau belok. Soalnya banyak yang protes kalau mak bawa
motor. Kadang sein sama arah belok enggak punya pendirian. Mak mau belok ke kanan,
eh sainnya malah nyala ke kiri.”
“Hahahahhaa, mana ada motor yang lampu sainnya bisa menyala
sendiri? Mak ada-ada aja.”
“Ada, le.
Coba aja nanti kamu tanyain sama yang jualnya.”
“Iya
deh, aku berangkat yo, mak!”
“Yo
wes, hati-hati, le, jangan nyopet!”
Wahahahahahahaha
***
Beberapa
hari kemudian.
Andri akhirnya memiliki motor baru yang masih
terbungkus plastik. Sepanjang hari motor itu ia peluk. Dipeluk doang tapi,
enggak pernah dipakai, wahahahaha.
Dipeluk dilap lagi, dipeluk lagi, dilap lagi, selama tiga hari begitu aja terus.
Di hari pertama Andri mengendarai motor barunya, ia
berputar-putar keliling desa dengan sikap berkendara super hati-hati. Kalau ada
tanggul, Andri berhenti dulu, matiin mesin, kemudian mendorong motornya
pelan-pelan.
Pada suatu pagi nan cerah, mak Ratna meminjam motor
baru Andri untuk belanja ke pasar ikan.
“Le, mak pinjam motor ya.”
“Mau ke mana, mak?”
“Ke pasar ikan.”
Kemudian Andri memberikan kunci motor kepada mak
Ratna, sambil berkata.
“Hati-hati
ya mak makainya. Nanti kalau ketemu tanggul usahain turun dulu.”
“Hahahaha,
tenang, le.”
Ngeeeeeeeeeng!
***
Dua
jam kemudian.
Kala mak Ratna tengah asyik membersihkan ikan yang
baru saja ia beli, Andri datang menanyakan motor.
“Mak, motor mana?”
“Ada di teras”
“Di teras enggak ada apa-apa, mak.”
“Moso?
Tadi motornya mak simpan di teras kok.”
“Enggak
ada, mak!”
“Waduh!”
Andri dan mak
Ratna bergegas menuju teras rumah.
“Tadi mak simpan di sini, le,” ucap mak Ratna bersemangat. “Dicuri orang, motor dicuri
orang.” Mak Ratna tampak mulai panik. Sementara Andri terpaku tanpa kata.
Terlihat jelas rona sedih terlukis dari wajah Andri.
Kemudian Andri berlari menuju pojok dapur, lalu
menangis sejadi-jadinya.
***
Ditemani pakle Veyz, mak Ratna berangkat menuju kantor
Polisi terdekat, untuk membuat laporan kehilangan.
“Selamat siang, Ibu. Ada yang bisa kami bantu?” tanya
petugas Polisi.
“Pak, tulung
pak, tulung! Motor anak saya hilang,”
balas mak Ratna sesenggukan.
Kemudian petugas tersebut menuntun mak Ratna menuju
ruangan SPKT.
Di dalam ruangan ada tiga meja. Pada masing-masing
meja terdapat perangkat komputer.
“Ndan, Ibu ini mau membuat laporan kehilangan.”
“Silakan duduk, Ibu.”
Setelah mak Ratna duduk, petugas pun mulai mengajukan
pertanyaan.
“Maaf, dengan Ibu siapa?” tanya petugas.
“Nama saya, Pak?”
“Iya, nama Ibu.”
“Nama saya Ratna Indah Pertiwi Kesumaning Praja
Pitaloka Purwaningsih.”
Petugas pun sempat kesulitan mencatat nama mak Ratna
yang panjangnya melebihi gerbong kereta cepat kontroversi jurusan Bandung
Jakarta PP.
“Bisa Ibu
sebutkan warna motor anak Ibu yang hilang?” lanjut petugas.
“Putih, pak,” balas mak Ratna sambil mewek.
Tiba-tiba petugas polisi yang melayani aduan mak Ratna
terdiam.
“Kenapa bapak diam, bapak ikutan sedih juga ya?” tanya
mak Ratna pede.
“Mohon maaf, Ibu tunggu sebentar ya, komputernya ngehang. Kemudian si petugas bangkit
dari tempat duduk dan melangkah menuju ruangan belakang. Sementara mak Ratna
masih saja menangis sekuat tenaga.
Petugas lain yang berada di ruangan SPKT merasa
kasihan dan berusaha menenangkan, untuk sekadar menghibur mak Ratna.
“Yang sabar, Ibu. Motor anak ibu yang hilang mereknya
apa?”
“MIA, pak.”
“Kayak
nama cewek,” gumam
petugas. “Merek mesinnya apa, bu?”
“YAMAHMUD, pak” balas mak Ratna.
Mendadak petugas terkekeh-kekeh, sebelum kembali
bertanya.
“Produk mana itu, bu?”
“Timur tengah, Pak.”
“Ooo, lucu juga namanya. Kalau motornya produk Banjar,
kira-kira apa nama mesinnya ya?”
“YAMARTAPURA, pak” sambung mak Ratna sambil terus
menangis.
“Kalau produk Jawa Timur?” tanya petugas lain.
“YAMAGETAN.”
“Kalau produk Jakarta?”
“YAMATRAMAN.”
Petugas kembali terpingkal-pingkal mendengar jawaban
mak Ratna.
“Kalau produk Ambon?”
“YAMALUKU”
“Kalau produk Sulawesi?”
“YAMAKASSAR.”
“Kalau produk Bandung?”
“YAMAJALENGKA”
“Kalau produk Papua?”
“YAMANOKWARI.”
“Wahahahahhahaa.”
Semua orang yang
berada di ruangan SPKT tertawa mendengar jawaban mak Ratna.
Tak lama berselang, petugas yang sebelumnya berpamitan
kembali memasuki ruangan.
“Sekarang ibu ceritakan, kapan dan bagaimana
kronologis hilangnya motor anak Ibu,” ucap si petugas sesaat setelah duduk.
“Tadinya motor itu saya pakai buat belanja ke pasar
ikan dekat rumah.”
“Setelah itu Ibu ke mana lagi?”
Mak Ratna terdiam, mengingat-ingat.
“Ketika pulang dari pasar ikan, di tengah jalan, ban
motornya kempes. Kemudian saya bawa ke tukang tambal ban.”
“Setelah itu Ibu ke mana lagi?”
“Waktu tukang tambal menambal ban motor, saya pulang.
Eh, maaf Pak, saya ingat … Berarti motor anak saya enggak jadi hilang, tapi
ketinggalan di tempat tukang tambal ban,” ucap mak Ratna sambil bangkit dari
tempat duduk, kemudian berlari keluar ruangan SPKT.
Petugas yang menerima aduan mak Ratna menghela napas
panjang, menggaruk-garuk kepala yang sebenarnya enggak gatal, sembari berkata.
“YA AMPUN.”
“Itu motor produk mana, Ndan?” tanya petugas lain yang duduk di meja sebelah.
Belum sempat petugas itu menjawab, pengarang cerita
ini berteriak dengan suara menggelegar.
(PRODUK
KELUARGA KOPLAK! Wahahahahahaa.)
Bandung, 24 Februari 2016
TM Hendry, s
Tidak ada komentar:
Posting Komentar