Semoga belum lupa. Ketika semua
lembaga survei kredibel mengatakan Jerman menang tipis atas Argentina,
sementara ada beberapa lembaga survei abal-abal yang ngotot mengatakan
Argentina sebagai pemenangnya.
Ada suatu masa yang mana pesta
demokrasi diwarnai dengan perseteruan sengit seolah kita tak berdiri di antara
tiang bendera yang sama. Saling serang, saling sikut, saling hantam, perang
opini, sampai perang fitnah. Memang tidak melibatkan fisik, tetapi proses itu
telah cukup membuat urat saraf lelah, bahkan nyaris putus. Nusantara seperti
terbelah, seolah kita tidak lahir dari rahim yang sama (Ibu Pertiwi), seolah
kita bukan putra putri terbaik bangsa yang terdidik dengan budaya timur yang
menjunjung tinggi norma dan nilai-nilai (kesopanan).
Pantaskah kita merindukan suasana
seperti kala itu atau malah merasa jijik ketika harus mengenangnya?
Lantas, apa yang salah dengan
demokrasi kita?
Seorang bayi tidak serta merta
menjadi dewasa ketika lahir ke dunia, ada proses waktu mengiringi tumbuh
kembangnya. Dari bayi menjadi batita, menjadi balita, menjadi anak-anak,
menjadi remaja, (sebagian menjadi alay, fase labil), setelah itu merangkak
menuju dewasa.
Nah, menurut pandangan saya
demokrasi kita saat ini ada pada fase remaja menjelang dewasa (tidak apa jika
ada yang bilang lagi alay-alay-nya). Kedewasaan dalam berpolitik para elit dan
kedewasaan dalam memahami politik para simpatisan belum cukup matang dalam
menyongsong era baru. Dan hulu dari semua adalah kedewasaan para elit. Jika
semua elit politik mempertontonkan politik yang santun, yang menonjolkan
kelebihannya, visi misinya, tanpa memfitnah, tanpa menghujat lawan politik,
tanpa penggiringan opini untuk menjatuhkan lawan politik melalui tabloid
abal-abal dan survei palsu. Saya sangat percaya rakyat di bawah akan tetap adem.
Saat ini
lagi ramai pembahasan tentang RUU pemilihan kepala daerah. RUU yang menjadikan
kepala daerah tidak lagi dipilih langsung oleh rakyatnya, melainkan melalui DPRD.
Beberapa alasan yang membuat RUU tersebut kembali dibahas adalah:
- Untuk menghemat anggaran (katanya pemilu langsung itu pemborosan anggaran).
- Untuk
mengantisipasi kegaduhan politik seperti yang saya urai di atas.
- Dan
berbagai alasan lainnya.
Apapun, saya tetap menjadi salah
seorang anak bangsa yang tidak setuju bila kepala daerah dipilih oleh DPRD.
Dan ini beberapa alasan saya:
Anggota dewan kita itu sudah terlalu sibuk dalam melaksanakan tugasnya sebagai fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Apa nggak kasihan ditambah lagi dengan pemilihan kepala
daerah? Bayangkan, dalam manjalankan
tugas dan fungsi sebelumnya saja ada bebarapa yang terlelap di ruang sidang
karena kelelahan, ada juga yang sibuk memainkan handphone, mungkin karena jenuh usai rapat seharian, dsb.:p
Saya percaya, anggaran
dapat diselamatkan 100% jika pemilihan dilakukan dengan suit jari, hompimpa
atau kocok nomor seperti arisan. Kenapa harus dibuat rumit, jika memang tidak
ada kepentingan di belakangnya. Biarlah rakyat memilih
pemimpinnya sendiri. Berkaitan dengan pemilihan kepala daerah, faktanya rakyat
tidak ingin diwakili.
Ini buktinya.
Ini buktinya.
Hasil survei Lingkaran Survei
Indonesia (LSI).
Sebesar 81,25 persen menyatakan setuju
kepala daerah tetap dipilih rakyat, 10,71 persen menyetujui dipilih oleh DPRD,
dan sebesar 4,91 persen menyatakan kepala daerah sebaiknya ditunjuk oleh
presiden.
Jadi, Tuan yang
terhormat mewakili siapa?
Rakyat?
Rakyat yang mana?
Yang 10,71 persen?
Rakyat yang mana?
Yang 10,71 persen?
Masih ngeyel?
Benahi semua yang perlu dibenahi dari sistem yang ada sekarang!
Jika ada yang
rusak, ya diperbaiki, bukan malah
dibuang!
Ambisi tidak
akan dapat meluluhkan rakyat. Cara terbaik untuk meluluhkan rakyat adalah
mendekatinya dan mencari tahu apa yang diinginkannya, lalu penuhi dan
laksanakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar