Image Google |
Malam itu
saya dan istri bertengkar hebat karena persoalan tidak penting atau bisa juga
dibilang belum penting untuk dibahas. Ketika menonton siaran bola liga Inggris
di televisi, saya menyeletuk, semoga kelak Ujo, anak kami yang baru berumur dua
bulan menjadi penerus Wayne Rooney di Manchester United. Mendengar celetukan
saya, istri langsung menyemprot.
“Ngayal jangan ketinggian, Pak! Lagian, ngarahin
anak kok jadi pemain bola. Cita-cita anak tu
mbok yang berkelas, jadi Dokter kek! Jadi PNS kek!”
“Jadi PNS
itu godaannya berat, Buk! Kalau anak kita dicokok KPK karena korupsi, siapa
yang malu? Kita! Dokter juga begitu, berat risikonya. Terjadi hal yang tidak
baik, orang-orang seenak udel e
tudah-tuduh malpraktek.”
“Masih
mending daripada pemain bola!”
“Tahu apa Ibu
tentang bola? Jangan menganggap remeh, gaji pemain bola bisa lebih tinggi dari
PNS lho!”
“Pokoknya
ibu tidak setuju! Bola itu olahraga orang kurang kerjaan, bola satu dikejar
ramai-ramai, yang nontonnya juga kurang kerjaan, jam segini masih anteng depan
tipi, lupa waktu!”
Bukannya
melunak, istri saya bersikeras tidak setuju jika kelak Ujo menjadi pemain bola.
Dan lebih parah lagi, semprotannya kian menjadi. Kalau yang dibahas soal bola
biasanya saya gampang terpancing, di tempat kerja saya dan sejawat sering
berdebat, kami saling ejek tim favorit masing-masing. Namun kali ini beda, saya
berusaha tidak terpancing, bukan karena saya takut sama istri, tapi lebih demi
kemaslahatan bersama, saya mengalah agar tidak terjadi kegaduhan tengah malam,
dan yang paling penting jangan sampai penerus Wayne Rooney terbangun dari tidur
lelapnya karena kami berdebat, sebab untuk menjadi pemain bintang, tentu butuh
istirahat yang cukup.
***
Detak waktu
mengiringi tumbuh kembang buah kasih yang kami beri nama Ujo. Tidak terasa
sudah hampir tiga tahun Ujo mengenakan seragam putih merah, selama itu pula
setiap pulang sekolah, dengan sukacita Ujo mengikuti latihan rutin di Sekolah
Sepak Bola (SSB) kenamaan di daerah kami, walau tanpa restu Ibunya. Ya, saya
mendaftarkan Ujo ke SSB tanpa memberitahu sang istri.
Ujo latihan
sepak bola satu jam setelah pulang sekolah, kepada istri saya beralasan Ujo
ikut les ini, les itu. Sulit bagi saya membayangkan apa yang akan terjadi
ketika rahasia itu terbongkar. Bak kata pepatah, sepandai-pandai tupai meloncat,
sekali gawal (jatuh) juga. Pun begitu terjadi pada saya. Cedera di kaki kiri
Ujo yang ia dapat ketika latihan sepak bola, tidak mungkin saya sembunyikan
dari istri. Cedera tersebut membuat Ujo harus istirahat total selama satu bulan
lebih.
Apa yang
terjadi setelahnya? Istri menyemprot saya habis-habisan. Karena merasa
bersalah, diam tanpa pembelaan adalah pilihan paling bijak. Dan istri pun
mengeluarkan semua amunisi terbaik untuk menyemprot saya yang pasrah tanpa
perlawanan.
Hampir satu
dekade Ujo terlahir ke dunia, selama itu pula saya dan istri tiada lelah
berdebat tentang arah masa depan anak semata wayang kami itu. Entah saya yang
egois atau mungkin juga istri saya yang egois, bukan tidak mungkin juga kami
sama-sama egois. Perang argumen antara saya dan istri melulu terjadi karena
satu musabab, soal masa depan Ujo. Namun, kali ini tidak ada perang argumen,
karena satu pihak yaitu saya, tidak berhak membantah, karena saya salah. Dan
saya pun mulai jengah dengan segala perdebatan.
Guna mengalihkan perhatian dari ceracauan istri, saya meraih remot televisi, kemudian menekan papan nomor. Tiba-tiba jari saya tertegun menyaksikan pertunjukan teater tentang keluarga pada sebuah program televisi, kala itu lakonnya mengutip tulisan seorang Filsuf ternama asal Lebanon.
Guna mengalihkan perhatian dari ceracauan istri, saya meraih remot televisi, kemudian menekan papan nomor. Tiba-tiba jari saya tertegun menyaksikan pertunjukan teater tentang keluarga pada sebuah program televisi, kala itu lakonnya mengutip tulisan seorang Filsuf ternama asal Lebanon.
Anak kalian bukanlah anak kalian.
Mereka putra putri kehidupan yang merindu pada dirinya
sendiri.
Berikan kepada mereka cinta kalian, tapi jangan
gagasan kalian.
Karena mereka memiliki gagasan sendiri.
Kalian boleh membuatkan rumah untuk raga mereka, tapi
tidak untuk jiwa mereka.
Sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan,
yang tidak bisa kalian kunjungi, sekali pun dalam
mimpi.
---Kahlil Gibran---
Kutipan itu
seperti menampar saya, pun juga istri. Ternyata yang kami perdebatkan selama
ini bukanlah domain kami. Saya sangat yakin, di luar sana banyak orangtua yang seperti kami, egois dan suka memaksakan kehendak terhadap cita-cita
anaknya. Padahal kewajiban orang tua jelas, dan yang pasti bukan untuk
memenjarakan jiwa anak.
Setelahnya
sikap saya melunak. Saya tidak lagi memaksakan kehendak. Saya biarkan Ujo meramu
mimpinya sendiri, mimpi yang selaras dengan kehendak hatinya, tanpa intervensi
dari siapa pun, termasuk saya, juga istri. Kemudian saya dan istri membuat
surat perjanjian di atas meterai, tidak boleh salah seorang dari kami melakukan
pemaksaan terhadap masa depan Ujo. Pada salah satu butir perjanjian, Ujo juga
harus berhenti dari semua kegiatan di sekolah sepak bola. Perjanjian itu saya
teken dengan keyakinan yang tidak utuh, sebab di hati kecil saya masih bernaung seutas yakin, next time Ujo pasti
akan menggantikan posisi Wayne Rooney di Manchester United, apa pun jalannya.
***
Sesekali
istri masih suka menyemprot, tapi kami hampir tidak pernah berdebat tentang
masa depan Ujo. Kami biarkan Ujo menahkodai kapalnya sendiri, dari jauh saya
dan istri memantau menggunakan teropong alam yang terpatri dari naluri seorang
Bapak dan naluri seorang Ibu. Namun, di hati kecil saya masih bernaung seutas yakin, walau dalam bentuk sebongkah doa, next
time Ujo pasti akan menggantikan posisi Wayne Rooney di Manchester United.
***
Bagi saya hidup merupakan seni meramu mimpi dan imajinasi, kemudian menjadikannya sebuah
wujud nyata yang memiliki daya guna. Sekarang semua cerita telah berbeda, sudah
empat tahun Ujo menetap di Inggris, selama itu pula ia berkarir sebagai pemain
kunci di Manchester United. Sebuah kebanggaan tiada tara bagi saya dan istri
atas prestasi tersebut, pun ketika Ujo terut serta mengantarkan tim nasional
Indonesia menjuarai piala dunia lima tahun lalu.
Berawal saat
pencari bakat timnas usia sembilan belas menyaksikan Ujo tengah bermain di
lapangan becek tepi sawah, kemampuan sepak bola Ujo yang mumpuni, memukau mata
pencari bakat, hingga akhirnya Ujo dipanggil untuk ikut Traning Center di Jakarta. Karier Ujo sebagai penggawa garuda muda
berjalan mulus, selain membawa timnya menjuarai Piala Asia, Ujo juga sukses
menyabet gelar pemain muda terbaik se-Asia. Kiprah Ujo tidak hanya sampai di
sana, beberapa tahun kemudian, ia turut serta mengantarkan timnas senior menjuarai
Piala Dunia. Kalian tahu bonus apa yang disiapkan pemerintah untuk Ujo setelah
ia dan tim membawa tropi Piala Dunia ke Indonesia? PNS, ya pengangkatan menjadi
PNS. Tawaran dari pemerintah tersebut bersamaan dengan tawaran dari manajemen
Manchester United yang menyodorkan kontrak selama lima musim kepada Ujo. Hampir
terjadi kembali perdebatan antara saya dan istri, tapi kami berhasil
menenangkan diri, hingga akhirnya Ujo memilih jalannya sendiri, menolak tawaran
pemerintah dan memilih tawaran manajemen Manchester United.
Semua
memang telah berbeda, kecuali satu … cara istri menyemprot saya ketika ia lagi
kesal, sudah kadung permanen. Siapa pun kalian yang membaca kisah ini, tolong
jangan beritahu istri saya, karena dia akan sangat marah dan menyemprot saya
kalau ia tahu, bahwa sebenarnya Ujo tidak pernah berhenti latihan sepak bola
pasca cedera, ia tetap giat berlatih siang dan malam, walau hanya dalam MIMPI.
Tolong
rahasiakan, saya mohon!
Bandung, 18
Oktober 2017
TM Hendry,
s
Tidak ada komentar:
Posting Komentar