Di lorong gang pemukiman padat penduduk, seorang Lelaki
berpakaian necis berjalan sambil menggenggam secarik kertas di tangan kirinya. Detak
langkahnya menghunus debu bekas galian, menghinggapi sepatu pantofel hitam yang membungkus kakinya. Di tengah perjalanan, Ia melihat
tiga orang bocah usia belasan sedang asyik bermain bola plastik. Sejenak Lelaki
necis menghentikan langkahnya, lalu menghampiri salah seorang bocah.
“Dik, namanya siapa?” Tanya Lelaki necis.
“Bocah: Andi, Om!
Lelaki necis: Andi sekarang kelas berapa?
Bocah: Sudah enggak sekolah, Om.
Lelaki necis: Kenapa tidak sekolah?
Bocah: Tiga bulan yang lalu Ayah sakit keras dan sampai sekarang belum sembuh.
Ayah adalah tulang punggung keluarga kami. Ibu yang biasanya bertugas mengurus
rumah tangga, memasak, beres-beres rumah, merawatku dan dua adikku, sekarang
harus bekerja menggantikan Ayah. Ibuku sekarang berjualan makanan kecil,
hasilnya hanya cukup untuk biaya makan kami sehari-hari, sisanya untuk biaya
berobat Ayah.”
Lelaki necis terdiam,
matanya berkaca, sambil membuka secarik kertas dari tangan kirinya, ia
menuliskan sesuatu.
Lelaki necis
melanjutkan perjalanan menyusuri gang yang struktur lantainya sudah tak
beraturan. Gang kumuh tak terawat, layaknya kubangan lumpur, kala hujan menyapa
bumi. Bahkan sisa hujan semalam masih meninggalkan genangan air yang belum sepenuhnya kering.
Di belokan gang depan
Musholla, Lelaki necis melihat seorang Kakek memanggul ikatan kardus bekas di
pundak kanannya.
“Selamat siang, Pak!” sapa Lelaki necis.
“Kakek: Siang,
Nak.
Lelaki necis: Maaf Pak, jika saya mengganggu,
saya mau bertanya.
Kakek: Silakan Nak, mau bertanya apa?" Ucap si Kakek, sambil menurunkan buntalan kardus bekas dari
pundak kanannya.
"Lelaki necis: Maaf sebelumnya ya Pak. Bapak sudah tua, kok Bapak masih bekerja keras. Kenapa tidak menghabiskan masa tua dengan banyak istirahat?”
Hening . . .
Sambil menundukkan
kepala dan menghela napas panjang, si Kakek menjawab.
“Bapak hidup sebatang kara, Nak. Istri Bapak meninggal dunia setahun yang lalu
dan Tuhan tidak menitipkan keturunan untuk keluarga kami. Saat ini Bapak hidup
seorang diri menapaki waktu tersisa, hingga tiba batas ketetapan yang telah
digariskan Tuhan.
Dari kardus bekas ini cara Bapak untuk tetap bertahan hidup.
Semenjak kecil Bapak tidak diajarkan untuk mengeluh, apalagi sampai
meminta-minta kepada orang lain”
Lelaki necis terdiam,
matanya berkaca, sambil membuka secarik kertas dari tangan kirinya, ia
menuliskan sesuatu.
Sambil merangkul bahu
si Kakek, Lelaki necis berkata
“Terima kasih atas waktunya, Pak. Jaga kesehatan, selamat
bekerja!”
Lelaki necis
meninggalkan si Kakek, dan meneruskan perjalanan. Hingga langkahnya terhenti
tepat di tepi kali penuh sampah. Di ujung sorot matanya, Lelaki necis melihat gubuk
tua bilik bambu, yang berjarak dua puluh meter dari tempat Ia berdiri.
Melangkah perlahan
menuju gubuk tua. Di halaman depan, Ia mendapati seorang perempuan paruh baya
sedang membersihkan seonggok kacang tanah.
“permisi” ucap si Lelaki necis.
Sambil tersenyum
ramah, perempuan paruh baya menjawab
“Iya, silakan duduk, Pak”
“Lelaki necis:
Terima kasih, Ibu. Maaf mengganggu, saya mau bertanya-tanya boleh ya, Bu?
Perempuan paruh baya: Boleh, Pak.
Lelaki necis: Lanjutkan saja pekerjaannya, Bu! Sambil berbincang tidak apa kan?”
Perempuan paruh baya
hanya melemparkan senyum dan tangannya kembali melanjutkan pekerjaan yang
sempat terhenti. Lalu Lelaki necis duduk di sebelah perempuan itu.
“Hendak diolah menjadi apa kacang tanah ini, Bu?” Tanya Lelaki necis. Dan perempuan
paruh baya menerangkan, bahwa kacang tanah itu sedianya akan diolah menjadi
kacang rebus.
“Setiap hari saya
membeli kacang ini di pasar. Setelah
diolah menjadi kacang rebus, pada sore harinya suami saya yang berkeliling ke
rumah-rumah warga, menggunakan gerobak kecil.” urai si perempuan paruh baya.
Ia melanjutkan “walau hasil keuntunganya kecil, tapi masih
cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup kami sekeluarga. Termasuk biaya sekolah
dua orang anak saya. Si sulung masih duduk di bangku kelas satu SMP dan si
bungsu baru kelas empat SD. Keduanya selalu berprestasi di sekolahannya, dan
kami berniat untuk terus melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi,
dengan cara apapun asalkan halal. Sebab cucuran keringat ini memang untuk
mereka, Pak.” Tutup perempuan paruh
baya.
Lelaki necis kembali
bertanya. “Ibu pernah mendapatkan bantuan
atau beasiswa untuk kedua anak Ibu yang berprestasi itu?
Perempuan paruh baya: Belum pernah, Pak.”
Lelaki necis terdiam,
matanya berkaca, sambil membuka secarik kertas dari tangan kirinya, ia
menuliskan sesuatu.
“Terima kasih atas waktunya, Bu. Jaga kesehatan, selamat
bekerja!”
Lelaki necis beranjak
meninggalkan perempuan paruh baya. Gerak langkahnya perlahan menapaki jejak
yang semula Ia lalui, menuju pintu keluar gang, tempat dimana ia pertama kali
menginjakkan kaki di pemukiman kumuh itu.
Di tengah perjalanan,
awan gelap yang sedari tadi menutupi keindahan rona langit, mulai menumpahkan
hujan deras yang disertai badai dan halilintar. Langit seperti terbakar. Lelaki
necis mempercepat langkahnya, di sekitar tidak ada tempat berlindung. Seratus
meter menuju pintu keluar gang, di sisi kiri dan kanan, berdiri kukuh tembok
pabrik garmen yang tak mungkin Ia robohkan.
Bermandikan hujan,
secarik kertas di tangan kirinya lumer menjadi gumpalan kertas tanpa makna.
Meski di hati tertulis, namun itu hanya lukisan, maha seni politik hanya perlu dilakoni, tanpa harus dilaksanakan. Langkah Lelaki necis semakin tergesa,
menuju pintu mobil mewah yang telah menunggunya tepat di depan mulut gang.
Mobil mewah yang akan mengantarkannya menuju kantor yang dibangun dari pajak rakyat.
Di seberang jalan,
tempat dimana mobil mewah terparkir, berdiri orang gila dengan baju compang
camping. Orang gila yang menjadi gila sebab gagal terpilih pada pesta demokrasi
dua periode sebelumnya. Di tengah guyuran hujan badai dan halilintar, orang
gila berbaju compang camping memutarkan badannya ke arah gardu listrik yang
berdiri tepat di sisi kanannya, sambil memaki, “POLITIK PENCITRAAN BRENG***!”
Bandung 7 Januari 2015
TM Hendry, s
Bandung 7 Januari 2015
TM Hendry, s
Ini kisah nyata bukan? Hmmm, sindiran kah?
BalasHapusIni hanya cerita fiksi yang mungkin menyerupai fakta, Mba Ajeng.:D
Hapus"mungkin" menurut sampean ya? Sosok necis di sini knp saya mikir kalau beliau yg dimaksud adlh pak Jokowi
BalasHapusNah, kok Pak Jokowi sih? :)
HapusYang saya tahu, pak Jokowi itu nggak (jarang) necis lo, mba Ajeng. Walau selama ini banyak lawan politiknya yang mengatakan beliau pencitraan. Khusus untuk pak Jokowi, penilaian saya sangat positif. Yang saya amati, semenjak menjadi Wali kota, Gubernur, dan saat ini Presiden, catatannya cukup bagus dibanding politikus lain.
Namun entah kenapa, setiap tertulis kata "pencitraan" ingatan sebagian orang selalu tertuju pada beliau. Mungkin karena kata itu yang selama ini digunakan sebagai senjata oleh lawan politik untuk menyerang beliau.
Pastinya tulisan di atas untuk semua yang selalu berbicara dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat, namun rakyat dimakan habis, siapapun orangnya.:)
Saya suka ceritanya, fiksi kan ya? Saya suka..sampai sebelum masuk ke urusan politik..saya lebih suka mengamati (kalau sempat) dibanding komentar..hehe..
BalasHapusoh ya, salam kenal, terima kasih sudah berkunjung ke blog saya ^^
Terima kasih Mba Irly.
HapusSaya rasa empat atau tiga tahun yang lalu kita pernah berkomunikasi di sini, sebelum blog ini berganti domain dan judul.
Baiklah, salam kenal kembali, Mba Irly.:)