Bocah perempuan
berparas ayu dengan pakaian yang sudah kumal melintasi lorong pasar tradisional.
Sesekali ia mempercepat langkah, berlari kecil di antara hiruk pikuk pedagang dan
orang-orang yang tengah asyik berbelanja. Sudah hampir seminggu, setiap hari
bocah berparas ayu itu melintasi lorong pasar, namun tidak ada satu orang pun
yang tahu dari mana ia datang, dan ke mana ia hendak pergi. Jika masih sekolah,
mungkin bocah itu baru kelas dua sekolah dasar.
“Bocah gelandangan,”
celetuk seorang pedagang.
“Anak itu pasti
terlahir karena seks bebas,” timpal pedagang lainnya.
“Orang tuanya kelewat
kurang ajar, anak masih kecil sudah disuruh mengemis,” sambung pedagang lain.
Langkah pemilik kaki mungil semakin terburu menuju gerbang depan pasar. Melompati genangan air, melintasi tumpukan sampah yang dikerubung laler. Ia tidak peduli sorot mata penuh curiga orang-orang yang menatapnya, karena memang usianya terlalu kecil untuk dicurigai. Lagi pula, di zaman sekarang bukankah kecurigaan telah menjadi pakaian banyak orang? Bukan manusia modern namanya kalau tidak mudah mencurigai, bukan manusia modern namanya kalau tidak gampang memfitnah, bukan manusia modern namanya kalau tidak berpikiran sempit. Bukan modernisasi yang salah, yang barbar itu cara berpikir dan bersikap, banyak orang-orang sok suci, sok paling benar.
Pemilik paras ayu
dengan baju yang sudah kumal terus melangkah menuju jalan raya, sambil berlari
kecil di atas trotoar, sesekali bocah itu melompat, kemudian membentangkan
tangannya seperti sedang menari. Langkah bocah perempuan itu berhenti tepat di
depan pagar tinggi sebuah gedung sekolah dasar. Dari balik pagar ia melihat
sekelompok anak seusianya tengah berlari riang dengan pakaian seragam yang
rapi.
Hampir seminggu, dari
pagi hingga siang menjelang, bocah kecil itu menghabiskan waktu di depan pagar
sekolah dasar, untuk turut menikmati keceriaan anak-anak seusianya. Melihat
saja sudah lebih dari cukup, sekadar tahu, bahwa keceriaan masih ada, belum
dihapus oleh sang pemiliknya.
Ketika jam pelajaran
di sekolah dasar tersebut selesai dan guru-guru mempersilakan para muridnya
pulang, saatnya bagi bocah perempuan berparas ayu beranjak dari pagar sekolah,
untuk kembali menuju pasar.
***
Dia tidak pernah
meminta-minta, bocah kecil itu bukan pengemis seperti yang disangka kan banyak
orang. Dia hanya menumpang hidup di antara ingar-bingar pasar, dia tidak
merampas hak orang lain, dia tidak hidup atas belas kasih orang lain. Tapi
semua orang yang melihatnya, tanpa pernah mencaritahu, seperti sepakat dengan
mangatakan bocah perempuan itu pengemis. Padahal, usianya terlalu kecil untuk
tahu, betapa maha dahsyatnya lembaran yang diberi nama uang, usianya terlalu
kecil untuk tahu, bahwa uang bisa menjadi sumber kemakmuran, juga bisa menjadi
sumber masalah dan pertumpahan darah. Usianya terlalu kecil untuk tahu, bahwa
pengaruh uang dapat memperhamba orang. Usianya terlalu kecil untuk tahu, bahwa
dia juga anak kandung Ibu pertiwi. Usianya terlalu kecil untuk tahu, dia telah
dicampakkan dan diperhinakan oleh iblis berwujud manusia. Usianya terlalu kecil
untuk tahu, di dunia ini hanya tinggal sedikit manusia yang punya hati.
Sementara yang ia tahu tentang kehidupan tidak lebih dari tiga hal: tidur,
makan, dan bermain.
Setiap malam ia menanti pagi pada bangsal pengap tanpa penerangan, tak
ada rasa takut, ia tak mungkin takut, karena kegelapan yang pekat adalah
Ibunya, sementara ingar-bingar pasar kala siang adalah bapaknya.
Keceriaan masih ada,
keceriaan belum mati, dan keceriaan belum dihapus oleh sang pemiliknya. Tapi di
mana? Angin malam berhembus tenang menusuk pori-pori. Bocah perempuan berparas
ayu menarik lembaran koran bekas yang menjadi selimut dinginnya, perlahan ia
memejamkan mata.
***
Pukul sembilan malam,
perempuan paruh baya turun dari mobil mewah, ditemani suaminya, ia menelusuri pasar
yang sudah sepi. Tampak jari tangan perempuan itu menunjuk ke arah lorong yang minim
cahaya.
“Mama ceroboh! Kemala[1]
itu harganya selangit. Jika permata itu benaran jatuh, pasti sudah disambar
orang.”
“Tenang Pa, apa
salahnya kita usahakan mencari dulu, kalau batu itu memang milik kita, tidak
akan tertukar jadi milik orang lain.”
“Aaaah, cara berpikir Mama
kuno!”
Perempuan paruh baya
tersenyum ramah menatap suaminya.
“Mama yakin, batu itu
jatuh di sini?” tanya suaminya lagi dengan nada bicara yang mulai rendah.
“Yakin, Pa. Tadi sore
Mama buka tas di sini. Waktu itu kantong plastik belanjaan Mama sobek,
tiba-tiba ada bocah perempuan datang membantu Mama mengumpulkan barang
belanjaan yang tercecer. Wajah bocah itu ayu, sorot matanya teduh seperti
menyimpan kedamaian yang hampir punah di bumi ini. Saat itu Mama membuka tas,
mengambil beberapa lembar uang, kemudian memberikannya pada bocah perempuan
itu, entah kenapa bocah itu tidak mau menerima uang pemberian Mama. Saat Mama
tanya namanya, ia menggelengkan kepala, Mama tanya tempat tinggalnya ia terdiam
menitikkan air mata.”
Suami perempuan paruh
baya tercenung menatap lekat-lekat wajah istrinya.
“Ia bisu?”
Perempuan paruh baya
menganggukkan kepala.
Di ujung lorong, tampak
siluet mungil melangkah pelan menghampiri mereka, suami istri itu terpaku. Perempuan
paruh baya terkesiap, kemudian mendekap erat lengan suaminya, kala kucing hitam
tiba-tiba melompat dari atas meja kosong. Siluet mungil makin mendekat, sorot
mata senter penjaga pasar memantulkan cahaya dari arah samping. Di ujung cahaya
itu berdiri seorang bocah perempuan menjulurkan genggaman tangan kanannya di
hadapan perempuan paruh baya dan suaminya. Perlahan bocah perempuan membuka
genggaman, di atas telapak tangan mungil, berkilau batu kecil memantulkan
cahaya.
Suami perempuan paruh
baya semringah, sementara istrinya tersenyum haru. Sambil berjongkok di hadapan
bocah perempuan berparas ayu, dengan ujung jarinya yang lembut, perempuan paruh
baya melipat telapak tangan jari-jari mungil bocah yang masih membentang dengan
batu permata di atasnya. Kemudian perempuan paruh baya mendekap dan menggendong
bocah kecil itu penuh kasih sayang.
“Kamu terlalu polos
untuk hidup liar seperti ini, kamu terlalu bersih untuk dikotori dunia yang
makin tidak ramah. Di sini bukan tempat yang pantas untuk kamu. Dan kami masih
punya hati untuk tetap diam, melihat anak sekecil kamu berjuang sendiri menantang
dunia.”
Deru mesin mobil
mewah membelah kuasa malam yang keji, membawa bocah perempuan berparas ayu
menuju kehidupan baru.
Bandung, 20 Desember
2016
TM Hendry, s
Cerpen yang bagus mas
BalasHapusTerima kasih, mbakyu Swastikha.:)
Hapus