Apes,
itulah yang saya alami ketika naik Angkot kemarin sore. Dengan semena-mena
tanpa perasaan, seorang perempuan paruh baya menuduh saya mengambil dompet
miliknya. Dongkol, emosi, campur aduk jadi satu. Dan peristiwa kemarin itu
benar-benar akan menjadi pengalaman
buruk seumur hidup saya.
Angkot
sesak penumpang, duduk desak-desakan, sore menjelang magrib bertepatan pas jam
pulang kerja, jam pulang sekolah juga. Perempuan paruh baya itu turun duluan
dari angkot, ketika hendak membayar ongkos, ia tampak panik mengubek-ubek isi
tasnya. Jreeng! Sorot matanya tertuju
ke saya, dengan jari telunjuk tangan kirinya dia menunjuk tajam dan menuduh
saya telah mengambil dompetnya. Sumpah
deh, dongkol kuadrat, asem benar tu perempuan.
Dituduh
tanpa bukti yang jelas, saya protes, hingga terjadi perdebatan antara saya dan
si perempuan tukang tuduh tersebut. Sopir dan beberapa penumpang lain berusaha
menengahi. Emosi saya memuncak terasa sudah di ubun-ubun, enak saja main tudah-tuduh
tanpa bukti. Cekcok saya dan perempuan ember
asal tuduh itu mengundang perhatian banyak orang berkerumun.
Di antara
kerumunan, muncul Polantas dengan suara lantang bertanya apa yang tengah
terjadi, saya dan perempuan paruh baya berebut menceritakan. Ditengahi Polisi,
ceracauan perempuan itu melunak, setelah mendengar keterangan dari saya, si
perempuan, dan beberapa penumpang lain, pak Polisi meminta saya bersedia
digeledah. Saya keluarkan semua isi kantong, termasuk dompet, handphone, dan beberapa uang kencring.
Tidak ada
dompet si Perempuan, dengan begitu tuduhan semena-menanya terhadap saya tidak
terbukti. Setelah itu Polisi meminta izin kepada si perempuan agar
diperkenankan memeriksa tasnya. Perempuan itu langsung menyodorkan tas kepada
Polisi. Kemudian Polisi mengeluarkan isi tas perempuan itu satu persatu. Bedak,
handphone, dan yang ke tiga dompet
kecil, saat Polisi menanyakan, “ini dompet ibu yang hilang?” si perempuan
mengangguk, semua orang yang ada di sana bersorak ke arah si perempuan, namun
emosi saya makin memuncak. Jelas saya tidak terima dipermalukan di depan banyak
orang. Perempuan itu dengan entengnya minta maaf, seolah tanpa dosa sudah
menuduh dan memfitnah saya.
Polisi ikut
membujuk agar saya memaafkan si perempuan, tapi batin saya menolak keras, dalam
pikiran saya, perempuan asal tuduh itu harus dapat pelajaran, agar ada efek
jera setelah kejadian, agar orang lain tidak menjadi korban berikutnya seperti
saya. Malu banget dituduh ujuk-ujuk seperti itu.
Mendengar
saya ingin memperpanjang perkara, si perempuan tampak gentar, ia memohon dan
meminta bicara empat mata dengan saya. Saya menolak, bagi saya sudah tidak ada
lagi kompromi, sebab ini menyangkut harga diri. Saya seperti sampah diperlakukan
seperti itu di hadapan banyak orang. Perempuan itu terus memohon, karena merasa
malu dilihat banyak orang, akhirnya saya melunak dan bersedia untuk bicara
empat mata.
Saya
kembali kaget, setelah tahu ternyata tujuan si perempuan mengajak saya bicara
empat mata hanya untuk meminta agar saya tidak memperpanjang kasus itu. Ekor
mata saya melihat jelas, si perempuan mengeluarkan sesuatu dari dalam dompetnya
kemudian mengajak saya salaman sembari minta maaf, memohon agar kasus itu tidak
diperpanjang. Kurang ajar banget, saya makin terhina melihat sikapnya, seolah
semua bisa dibeli pakai uang, dan harga diri saya tidak serendah nilai yang disodorkan
perempuan itu.
Ia menangis
terisak. “Dengan apalagi saya harus minta maaf?” ucapnya.
Saya
membatu, dalam hati saya pengin banget memaki, tapi saya masih manusia beradab,
bila harus memaki orang lain, apalagi usianya jelas di atas saya, sepantar
kakak saya yang paling tua.
Saya
perhatikan perempuan itu, kembali ia memasukkan tangan ke dalam dompetnya, kali
ini saya melihat ada beberapa lembaran pecahan seratus ribu yang ia keluarkan,
kemudian ia genggam kuat, lalu kembali menyodorkan tangannya ke arah saya
sembari mengucap maaf.
Sore hampir
usai, magrib tinggal hitungan menit, saya melunak, Tuhan saja maha pemaaf,
tidak seharusnya juga saya sekeras itu. Ini bukan soal uang, saya tak
mengharapkan uang tersebut, barangkali itu bonus atas fitnah yang saya terima.
Tangan saya bergerak pelan menyambut uluran tangan si perempuan paruh baya,
belum sempat tangan kami bertaut, saya terbangun ketika istri mendorong-dorong lengan
saya sambil berkata, “Bang, bangun, udah magrib!”
TAMAT
Kisah ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama
tokoh dan cerita, semua itu di luar kuasa yang tengah berkuasa. :D :D :D
Bandung, 05
Februari 2018
TM Hendry,
s
Tidak ada komentar:
Posting Komentar