Image Google |
Angin yang semula berembus tenang,
bergerak lebih cepat dan semakin cepat. Atap bangunan rumah warga di desa
Cemewei beterbangan. Kepanikan di sana sini, semua orang berhamburan keluar
rumah menyelamatkan diri.
“Ada apa ini?” teriak seorang warga, berlari terbirit-birit membenahi
sarung kusam yang dikenakannya, sambil menggenggam tablet canggih.
“Kiamat, kiamat, kiamat!” celetuk warga
lainnya.
“Jangan sembarangan kamu bicara. Aku
sama sekali belum mendengar suara sangkakala.”
“Mungkin saja malaikat Israfil sudah
meniup sangkakala, karena kita terlalu sibuk facebookan, twitteran, bbmman, dan youtube-ban, kita tidak
mendengar suara itu.”
“Sesat kamuuu! Kamu benar-benar sesat!”
“Aaaaaaaaach!
Selamatkan jiwa, selamatkan diriiiiiiiiiiiiii!”
“Terlambaaaaaaaat!
Kita tak punya waktu lagiiiii.”
Hembusan angin semakin kuat menghempas pohon
dan rumah warga.
***
Keesokan
harinya.
Seorang pembaca berita televisi dengan
suara bergetar menyampaikan berita duka tentang bencana badai besar yang
melanda desa Cemewei.
“Kita beralih ke berita lainnya. Puluhan
rumah warga di desa Cemewei rusak
parah,
pasca dilanda badai besar kemarin petang. Tidak ada korban jiwa dalam bencana
badai besar kali ini, namun
kerugian warga diperkirakan mencapai miliaran rupiah.
Informasi lain yang kami dapatkan
dari lokasi peristiwa, ada satu rumah megah milik warga di
desa Cemewei yang tetap kukuh berdiri, tanpa kerusakan berarti. Keterangan dari warga sekitar,
bangunan megah itu milik warga pendatang bernama Sujono. Rumah megah yang
dibangun sekitar
setahun
yang lalu itu, baru ditempati keluarga Sujono seminggu sebelum bencana terjadi.
Saat ini berkembang berbagai spekulasi tentang kehadiran keluarga Sujono di
desa Cemewei. Demikian yang dapat kami sampaikan, sampai jumpa!”
Hiruk pikuk warga, masing-masing sibuk
berkemas, sebagian lain sibuk mengais harta benda yang masih layak pakai di sisa
puing bangunan.
“Aneh ya, kenapa rumah pak Sujono tidak
rusak, sementara rumah kita dan rumah warga lain rusak parah?” celetuk
perempuan setengah baya sambil menggendong anaknya yang baru berumur dua tahun,
dengan tangan kanan yang terus mengais pada puing rumahnya yang roboh.
“Jangan-jangan Sujono itu dukun besar.
Dia kan pendatang dan kita tidak tau asal usulnya,” sambung perempuan tua
dengan mimik wajah serius.
“Ibu, tak elok berprasangka buruk seperti
itu. Berpikir baik saja kita, mungkin karena bangunan itu masih baru, makanya
kukuh dari
terpaan badai
besar,” ucap suami perempuan tua, sambil menenggak air putih dari gelas
plastik.
“Patut kita curiga sama Sujono, toh kita enggak tau kerjaannya apa.
Jangan-jangan kehadiran dia yang membawa petaka di desa kita ini.”
“Sepakat! Bisa saja pak Sujono itu
koruptor yang melarikan diri dari kota dan tinggal di desa kita untuk sembunyi,”
sambung warga lain yang
ikut menimpali.
“Benar tuh, waktu kita menggalang dana untuk renovasi surau tiga hari yang
lalu, dia tidak ikut menyumbang, padahal dia kaya.”
Berbagai spekulasi berkembang sangat
cepat, segala pandangan dan pikiran buruk menghasut warga bertindak kalap. Hingga
akhirnya sebagian besar warga sepakat untuk mendatangi rumah pak Sujono.
Warga berduyun-duyun berkumpul hendak
mengusir pak Sujono beserta keluarganya dari desa Cemewei. Bapak-bapak,
Ibu-ibu, Kekek-kakek, Nenek-nenek, hingga remaja dan anak-anak ikut serta dalam
penyerangan ke rumah pak Sujono. Masing-masing mereka melengkapi diri dengan
senjata tajam.
Parang,
pisau, kayu balok, batu, dan senjata lainnya.
“Keluar kau Sujono si pembawa petaka!”
teriak pemuda berbadan kekar,
sembari
mengacungkan parang.
“Pergi dari desa kami!” sambung warga
lain.
“Pembawa sial, pembawa petaka, enggak
pantas tinggal di desa kami! Usir Sujono! Usir Sujono! Usir Sujono!”
Tidak mendapat tanggapan, hingga akhirnya warga memaksa
masuk ke dalam rumah dengan merusak pagar dan menghancurkan kaca jendela. Perabot di dalam rumah tak luput
dari amuk
warga, semua mereka hancurkan. Televisi, kulkas, lemari, meja, kursi, remuk tak
berbentuk. Tak hanya benda yang berada di ruang tengah, ruang tamu dan dapur,
enam kamar berikut isinya juga lumat dirusak warga. Tapi ... kemanakah pak
Sujono dan keluarganya?
“Hentikaaaaaaan!”
teriak
Kepala Desa mengentak kegaduhan. “Ada apa ini?” lanjut Kepala Desa.
Semua warga terdiam saling bertukar
pandang.
Sejurus kemudian seorang pemuda berbadan ceking mendekati Kepala Desa,
sambil berkata.
“Kita harus usir Pak Sujono, Pak. Dia
dan keluarganya membawa sial ke
desa kita.”
“Betul, Pak! Usir Sujono! Usir Sujono!
Usir Sujono!” pekik warga lain.
“Tenang dulu semuanya!” ucap Kepala
Desa. “Kita tidak bisa mengusir orang sembarangan, kecuali dia melanggar aturan
yang sudah kita buat demi kenyamanan desa. Kalian semua bisa dipenjara karena
perbuatan kalian yang bertindak tidak di atas kepatutan, hingga merugikan orang
lain.”
“Tapi, Sujono itu pembawa sial, pembawa
petaka bagi desa kita,” sambung kakek tua yang mengenakan baju lusuh tanpa
kancing.
“Betul! Betul! Betul!” sahut warga lain.
“Buktinya apa? Kita tidak boleh menuduh
orang sembarangan. Seharusnya saudara-saudara semua tidak bertindak kalap.
Apalagi saat ini desa kita sedang diuji dengan bencana besar. Jadi mohon jangan
memperkeruh suasana, dengan menciptakan masalah baru seperti yang saudara
lakukan ini,” balas Kepala Desa.
“Coba Bapak lihat, rumah kita semua
hancur, tapi rumah Sujono tidak ada kerusakan yang berarti. Pasti Sujono itu dukun besar.”
“Benar! Atau
jangan-jangan Sujono itu koruptor yang melarikan diri dari kota.”
“Dia itu
penjahat yang sengaja sembunyi di desa kita. Dia harus diusir!”
“Setuju! Waktu
kita menggalang dana untuk
renovasi surau tiga hari yang lalu, dia tidak ikut menyumbang, padahal dia
kaya.”
Warga silih
berganti mengemungkakan unek-unek mereka kepada Kepala Desa.
“Saya harap
suadara-saudara semua tenang dulu, mari kita bicarakan masalah ini secara
baik-baik, dengan kepala dingin dan sikap arif. Saya akan menjawab semua
pertanyaan saudara-saudara semua. Masalah bangunan rumah pak Sujono yang tetap
kukuh. Kita di sini sudah sama-sama mengetahui, bangunan ini masih baru. Coba
saudara perhatikan konstruksi bangunan rumah ini, berbedakan dengan bangunan
rumah kita?
Perlu
saudara-saudara ketahui. Pak Sujono itu merupakan teman kuliah saya. Saya tau
betul siapa pak Sujono. Pak Sujono berasal dari keluarga sederhana, karena
ketekunannya, sekarang dia menjadi pengusaha sukses kaya raya. Dia sengaja
membeli tanah dan membuat bangunan di desa kita ini untuk mencari ketenangan
dari hiruk pikuk kota tempat ia tinggal sebelumnya.
Jadi, jika
ada di antara saudara yang mengatakan dia dukun atau koruptor yang melarikan
diri, saya tegaskan, itu salah besar.
Masalah dia
tidak ikut menyumbang saat warga menggalang dana untuk renovasi surau. Tolong
disimak penjelasan saya. Waktu itu total dana yang terkumpul senilai dua puluh
juta. Lima juta berasal dari warga, yang lima belas juta lagi dari donator yang
menyebut dirinya hamba Allah. Saudara semua tau siapa donator itu? Donatur
tersebut adalah pak Sujono.
Saat ini
pak Sujono dan keluarganya lagi ada urusan bisnis keluar kota. Tadi subuh
beliau menghubungi saya, dia menyampaikan duka mendalam atas bencana yang
melanda desa kita. Dia juga telah mengutus anak buahnya untuk mengirim bantuan.
Setelah mengetahui kondisi rumahnya baik-baik saja, pak Sujono berpesan kepada
saya, jika warga butuh tempat tinggal sementara, pak Sujono mempersilakan warga
menempati rumahnya ini.
Dari semua
yang sudah beliau lakukan, pantaskah menurut saudara-saudara jika pak Sujono
kita usir dari desa kita ini?”
Semua warga
tertunduk diam penuh sesal mendengar uraian Kepala Desa. Sebagian lagi ada yang
menangis.
***
Dengan
ikhlas pak Sujono dan keluarganya memaafkan perbuatan warga desa Cemewei.
Setelahnya mereka hidup rukun pada jalan yang lurus, jalan kebenaran yang tak terbantah.
Yang
terlihat benar belum tentu benar.
Yang
terlihat salah belum tentu salah.
Proses,
cara, perbuatan membedakan; pembedaan.
Diferensiasi.
Bandung, 05
Januari 2016
TM Hendry,
s
Tidak ada komentar:
Posting Komentar